BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ruminansia
merupakan binatang berkuku genap sub ordo dari ordo Artiodactyla disebut
juga mamalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa
Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau
memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah
biak. Sistem pencernaan (tractus digestivus) ruminansia terdiri atas suatu
saluran muskulo membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus.Fungsinya
adalah memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta
mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat.Sistem pencernaan mengubah zat-zat
hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana hingga
dapat diserap dan digunakan sebagai energi, membangun senyawa-senyawa lain
untuk kepentingan metabolisme.
Ternak perah
adalah ternak yang secara genetik mampu menghasilkan susu melebihi kebutuhan
anaknya, misalnya sapi, kerbau, kambing dan lain-lain. Ternak perah
mempunyai ciri-ciri khusus yang berhubungan langsung dengan produksi
susu. Pada umumnya bentuk susu berupa cairan yang diproduksi
oleh kelenjar ambing hewan mamalia betina dengan warna putih kekuning-kuningan
yang tidak tembus cahaya, mempunyai rasa sedikit manis berasal dari laktosa dan
bau yang khasberasal dari lemak susu, bersih, dan kosistensinya homogen tanpa
ada bentuk gumpalan.
Susu merupakan bahan
makanan alami dengan nilai nutrisi yang lengkap dan hasil dikonsumsi oleh
hampir seluruh lapisan masyarakat.Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing
atau kelenjar mamae. Susu yang merupakan salah satu bahan makanan alami
yang paling sempurna yang digunakan untuk bahan utama makanan yang sangat
komplit.Susu adalah sumber makanan utama bagi semua hewan mamalia yang baru
lahir dan dapat pula digunakan untuk kehidupan sehari hari.
Komposisi utama
susu terdiri dari protein, lemak, laktosa dan mineral. Sedangkan perbandingan
susu manusia denagan susu sapi berbeda dalam kandungan protein, laktosa dan mineral. Pada susu
sapi kandungan protein dan whey adalah 4:1.
Secara umum penelitian
susu adalah salah satu diantaranya pemeriksaan kesegaran dari pada kesegaran
susu tersebut seperti uji warna, apakah warna susu tersebut mempunyai warna
yang sesuai dengan susu asli atau tidak, dan juga bau susu tersebut,
kekentalannya dan juga rasa dari pada susu tersebut sehingga susu tersebut
dapat di produksi tubuh dengan cara kontinu. Dan seharusnya komponen susu
tersebut tidak dikurangi atau ditambah bahan-bahan lain sehingga mutu atau
kualitas susu tersebut tetap terjaga.
1.2.
Tujuan
Tujuan
dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat Pencernaan
adalah untuk mengetahui bagian-bagian dari anatomi pencernaan pada ruminansia
serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan tersebut.
Tujuan
dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu untuk mengetahui warna,
bau, rasa, dan konsistensi air susu dengan menggunakan panca indera, untuk
melihat kotoran yang terdapat di dalam air susu yang tidak terlihat oleh mata,
untuk mengetahui kadar pH susu, untuk mengetahui kualitas susu tersebut baik
atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol, uji didih, dan uji reduktase
dengan biru metilen.
Tujuan
dari praktikum pemeriksaan komposisi air susuadalah untuk mengetahui dan memahami cara menghitung
komposisi susu dengan pengukuran berat jenis, pengukuran kadar bahan kering,
pengukuran kadar protein, dan untuk mengetahui jumlah mikroba yang terdapat di
dalam susu.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan
pemalsuan air susu adalah untuk membuktikan adanya penambahan santan pada susu
secara mikroskopik, dan untuk membuktikan adanya penambahan pati pada susu.
1.3.
Manfaat
Manfaat
dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat Pencernaan
adalah praktikan dapat mengetahui bagian-bagian dari anatomi pencernaan pada ruminansia
serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan tersebut.
Manfaat
dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu praktikan dapat mengetahui
kualitas susu dengan berbagai cara seperti
mengetahui warna, bau, rasa dan konsistensi dengan menggunakan panca indra,
praktikan mengetahui dan dapat melihat kotoran yang terdapat didalam susu yang
tidak terlihat oleh mata, mengetahui ph susu, serta praktikan mengetahui
kualitas susu tersebut baik atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol,
uji didih, dan uji reduktase dengan biru metilen.
Manfaat
dari praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah praktikan mengetahui dan memahami cara
menghitung komposisi susu dengan pengukuran berat jenis, pengukuran kadar bahan
kering, pengukuran kadar protein, dan mengetahui cara menghitung mikroba yang
terdapat pada susu secara tidak langsung.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan
pemalsuan air susu adalah praktikan mengetahui bagaimana cara memeriksa
kualitas susu yang baik, dapat mengetahui ciri-ciri susu yang murni 100% tanpa
bahan tambahan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Anatomi Alat Pencernaan
2.1.1.
Mulut
Bath dkk. (1985)
menyatakan bahwa proses pencernaan pada ternak ruminansia dibagi menjadi 3
yaitu : 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi di dalam mulut .2 . Pencernaan
Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan ternak itu sendiri .3.
Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme rumen.
Frandson, (1993)
menyatakan bahwa proses remastikasi terjadi secara lebih lambat dibandingkan
mastikasi yaitu 55 kali per menit. Seekor domba rata-rata melakukan ruminasi
selama delapan jam, walaupun aktivitas ini bisa dikendalikan sesuai
kehendak,misalnya remastikasi pada saat pengeluaran bolus bergantung juga pada
keadaan sekitar. Bolus yang terbentuk setelah regurgitasi dan pengunyahan akan
dikeluarkan untuk diremastikasi. Material yang di regurgitasi biasanya terdiri
atas hijauan dan cairan.Satu kali remastikasi biasanya berlangsung rata-rata
satu menit.
Kaunang (2004)
menyatakan bahwa pada proses pencernaan hewan ruminansia terjadi secara mekanis
di mulut, fermentatif oleh mikroba pada rumen dan secara hidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan di abomasum. Proses memamah biak pada ujung anterior
rumen didorong kembali melalui esophagus menuju mulut, kemudian cairan segera
ditelan sementara materi padat kembali dikunyah dalam mulut sebelum
dikembalikan ke dalam rumen. Mikroba alami yang terdapat dalam rumen melakukan
fermentasi secara anaerobik.Mikroba tersebut mendegradasi senyawa-senyawa
kompleks yang terkandung di dalam bahan pakan termasuk selulosa dan
hemiselulosa (polisakarida) menjadi senyawa-senyawa sederhana.
Rahmadi, dkk, (2003) menyatakan
bahwa mastikasi disebut juga chewing, pakan seolah digerus antara geraham bawah
dan geraham atas dengan frekuensi yang berbeda-beda tergantung pada jumlah
pakan dan kondisi pakan. Jenis gigi, susunan rahang, dan kebiasaan mengunyah
akan mempengaruhi variasi dari mastikasi. Tujuan mastikasi adalah memperkecil
ukuran partikel pakan dan sekresi saliva.
2.1.2.
Esophagus
Frandson, (1993)
menyatakan bahwa esophagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju perut besar
atau lambung, sedang makanan boleh jadi tidak mengalami perubahan sepanjang
esophagus.Esophagus merupakan kelanjutan langsung dari farink, merupakan suatu
saluran muskuler yang merentang dari farink menuju ke kardia dari perut, persis
pada posisi kaudal dari diafragma.
2.1.3.
Lambung
Aurora (1989),
menyatakan bahwa rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang
menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba . Isi rumen pada ternak
ruminansia berkisar antara 10-15% dari berat badan ternak tersebut . Kondisi
dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat
hidup serta ditemukan di dalamnya .Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan
tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 32-42°C, pH dalam rumen
kurang lebih tetap yaitu sekitar 6,8 dan adanya absorbsi asam lemak dan amonia
berfungsi untuk mempertahankan pH.
Arora (1989), menyatakan
bahwa bakteri merupakan mikroorganisme rumen yang dominan. Dilihat dari
fungsinya, bakteri dalam rumen dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok utama,
yaitu (1) kelompok pencerna selulosa, (2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3)
kelompok pencerna pati, (4) kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai
laktat, (6) kelompok pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik.
Bakteri rumen telah beradaptasi untuk hidup pada kondisi fisik rumen relatif
tetap yakni pH 5,5–7,0 dan dalam keadaan anaerob (ada oksigen, tetapi sangat sedikit),
suhu 39–40OG, dan konsentrasi produk fermentasi kontinyu, walau tidak begitu
tinggi.
Chuticul (1975)
menyatakan bahwa rumen merupakan tempat pencernaan sebagian serat kasar serta
proses fermentatif yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme, terutama bakteri
anaerob dan protozoa.
Cole (1962) menyatakan
bahwa ruminansia merupaka poligastrik yang mempunyai lambung depan yang terdiri
dari Retikulum (perut jala), Rumen (perut handuk), Omasum (perut kitab), dan
lambung sejati , yaitu Abomasum (perut kelenjar) . Proses pencernaan di dalam
lambung depan terjadi secara mikrobial .Mikroba memegang peranan penting dalam
pemecahan makanan. Sedangkan di dalam lambung sejati terjadi pencernaan
enzimatik karena lambung ini mempunyai banyak kelenjar .
Kamra (2005) menyatakan
bahwa proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi sangat
intensif. Hal ini menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan dalam
bentuk yang lebih mudah diserap.Selain itu ternak ruminansia dapat juga
memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dalam jumlah yang
banyak.Ekosistem mikroba rumen sangat stabil dan dinamis. Pada ternak yang
sehat kontaminasi ekosistem seolah tidak terjadi, pada kenyataannya jutaan
mikroba dalam rumen banyak berasal dari pakan, air minum dan udara setiap
harinya. Ekosistem rumen dinamis, ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan,
mikroba rumen dapat beradaptasi dengan pakan tersebut. Hal ini terjadi karena
mikroorganisme teradaptasi untuk terus hidup dalam rumen dan yang tidak mampu
beradaptasi akan tereliminasi.
Oh dkk. (1969), menyatakan
bahwa pencernaan fermentatif merupakan proses yang dapat meningkatkan
pencernaan bahan makanan dalam rumen, karena pada ternak ruminansia pencemaan
makanan sangat tergantung pada aktifitas mikroorganisme. Aktifitas
mikroorganisme rumen dipengaruhi oleh kandungan zat-zat makanan dalam ransum.
Ranjhan dan Pathak
(1979) menyatakan bahwa di dalam rumen karbohidrat komplek yang meliputi
selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan adanya aktifitas fermentatif oleh
mikroba akan dipecah menjadi asam atsiri, khususnya asam asetat, propionat dan
butirat.
Sarwono dan Arianto
(2005) menyatakan bahwa lambung ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu rumen
(lambung pertama dengan kapasitas 100-230 liter pada sapi), retikulum (lambung
ke dua atau perut jala), omasum (lambung ke tiga atau perut buku) dan abomasum
(lambung keempat atau perut sejati).
2.1.4.
Usus Halus
Frandson, (1993) menyatakan
bahwa usus halus terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan
ileum.Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus.Saluran yang berasal
dari hati dan saluran pancreas menyatu ke dalam duodenum pada jarak yang pendek
di belakang pylorus.Jejenum dengan jelas dapat dipisahkan dengan
duodenum.Jejenum bermuladari kira-kira pada posisi dimana mesenteri mulai
kelihatan memanjang.Jejenum dan ileum bersambung dan tidak ada batas yang jelas
diantaranya.Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum.
E. Purbowati et al, (2014) menyatakan bahwa fungsi
usus halus adalah dalam penyerapan nutrisi, sedangkan usus besar adalah
penyerapan air, sekresi beberapa mineral seperti kalsium, tempat penampungan
pakan yang tidak tercerna, dan fermentasi oleh bakteri.
2.1.5.
Usus Besar
Frandson, (1993)
menyatakan bahwa usus besar terdiri atas secum yang merupakan suatu kantong
buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang naik, mendatar, dan turun.
Bagian turun akan berakhir di rectum dan anus.
Iis
Istidamah (2006) menyatakan bahwa sekum merupakan suatu kantung buntu dan kolon
yang terdiri atas bagian yang unik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan
berakhir direktum dan anus. Usus buntuk bersama kolon berfungsi sebagai tempat
fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak terfermentasi di dalam
rumen, pada ruminansia alat pencernaan itu jauh lebih besar.
Iis
Istidamah (2006) menyatakan bahwa rektum sebagai saluran pendek, terdiri dari
garis otot polos dengan membrane mukosa dan mempunyai lapisan serosa pada
interior dan berakhir pada anus dan dubur.Rektum berfungsi untuk menyimpan
feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan.
Junqueira dan Carneiro,
(1982) ; Rumessen, et al., (2001), ditinjau dari struktur histologinya, usus
besar saluran pencernaan tersusun atas : Tunika mukosa (lamina epitel, propria,
dan muskularis mukosa), tunika submukosa (jaringan ikat longgar, pembuluh darah
dan saraf), Tunika muskularis (stratum sirkulare dan longitodinal), dan Tunika
serosa.
2.2.
Pemeriksaan Kesegaran Air Susu
2.2.1.
Uji Sensorik atau Uji Organoleptik
Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara
organoleptik susu akan mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa,
dan aroma dari susu yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya
aktifitas mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.
Adnan (1984) menyatakan
bahwa Bacillus cereus dapat menghasilkan enzim untuk mencerna lapisan
fosfolipid disekitar butir –butir lemak, dapat menyebabkan ketengikan pada
susu.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011) menyatakan bahwa rasa
asam diakibatkan dekomposisi komponen susu oleh mikroba yang menyebabkan peragian
laktosa menjadi asam laktat, sedangkan rasa pahit disebabkan oleh bakteri
pembentuk pepton.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011)menyatakan bahwa susu
pasteurisasi yang normal memiliki rasa yang lezat sedikit manis karena
mengandung karbohidrat yaitu laktosa dan mempunyai aroma yang spesifik. Cita
rasa susu berhubungan dengan keseimbangan antara rasa manis akibat kandungan
laktosa tinggi dan rasa asin dari kadar klorida. Susu dengan kandungan laktosa
rendah tetapi kadar klorida tinggi menyebabkan cita rasa susu menjadi asin.
Lingathuraiet
al.(2009) menyatakan bahwa kualitas fisik dan kimia susu sapi segar
dipengaruhi oleh factor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian pakan,
frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode laktasi.
Sanam dkk.(2014)
menyatakan bahwa susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena
kelezatan dan komposisinya yang ideal selain susu mengandung semua zat yang
dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam susu dapat
diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh. Didalam kehidupan sehari-hari,
sebagian kecil orang meminum susu segar. Hal ini disebabkan karena tidak
terbiasa mencium aroma susu segar (mentah). Pada waktu susu berada di dalam
ambing ternak yang sehat atau beberapa saat setelah keluar, susu merupakan
suatu bahan murni, higienis, bernilai gizi tinggi, mengandung sedikit bakteri
yang berasal dari ambing, bau, rasa tidak berubah dan tidak berbahaya untuk
diminum.
2.2.2. Uji Kebersihan dengan Metode
Saring
Gustiani(2009)
menyatakan bahwa kontaminasi bakteri dimulai setelah susu keluar dari ambing
danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur susu yang lebih panjang.
Hariyadi(2000)
menyatakan bahwa faktor penyebab kerusakan susu dapat meliputi faktor kimia,
fisik, dan mikrobiologi. Namun kerusakan susu akibat pengaruh faktor
mikrobiologi menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan susu. Hal ini
diakibatkan karena susu sangat mudah tercemar oleh mikroba, baik pada waktu
proses pemerahan maupun pengolahan, sehingga menjadikan masa simpan susu
relatif singkat, yaitu hanya sekitar 5 (lima) jam apabila disimpan dalam suhu
ruang.
Saleh(2004)
menyatakan bahwa proses yang akan dilalui susu murni menjadi susu olahan harus
sangat diperhatikan dengan baik, karena susu merupakan bahan higienis yang
bernilai gizi tinggi dan apabila berada di luar dalam jangka waktu yang lama
akan menjadikan kualitas susu menurun. Susu dapat tercemar oleh bakteri karena
susu mengandung bahan-bahan yang diperlukan bakteri untuk hidup seperti
protein, mineral, karbohidrat, lemak, dan vitamin dan apabila telah tercemar
oleh bakteri maka secara otomatis susunan serta keadaan susu tersebut dapat
berubah.
Zakaria
dkk.(2011) menyatakan bahwa susu murni atau susu segar merupakan hasil dari
proses pemerahan dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Nilai
gizinya yang tinggi menyebabkan susu menjadi media yang sangat cocok bagi
mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang
sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi.
2.2.3.
Pengukuran pH dengan pH meter
Manik(2006)
menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena adanya kasein,
buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan
dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme aktivitas
enzimatik.
Suardana
dan Swacita (2004) menyatakan bahwa apabila pH di bawah 6,5 kemungkinan susu
tersebut telah rusak oleh bakteri, sedangkan pH lebih besar dari 6,7
menunjukkan adanya kelainan seperti mastitis. Semakin tinggi derajat keasaman
susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan
untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Suardana
dan Swacita(2009) menyatakan bahwa uji keasaman dilakukan untuk menentukan
keasaman susu dengan menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu.
Pada prinsipnya susu segar mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun
karena fermentasi laktose menjadi asam laktat oleh mikroba.
2.2.4.
Uji Alkohol
Dirkeswan(1977)
menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang negatif ditandai dengan tidak adanya
gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi.
Dwitania
DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa prinsip dasar pada uji alkohol
merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau
mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu
dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan
berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah
alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama
banyaknya.
Nababan
et al. (2015) menyatakan bahwa uji
alkohol pada susu cair yang disimpan pada suhu ruang dari jam ke – 0 sampai jam
ke – 4 dari hari ke-1 sampai hari ke-8 hasilnya adalah negatif, sedangkan pada
jam ke – 6 sampai jam ke – 8 dari hari ke-1 sampai hari ke-8 hasilnya adalah
positif. Susu pecah menunjukkan bahwa telah terjadi krusakan dari air susu
adalah tinggi. Uji alkohol berdasarkan kenaikan tingkat keasaman dari air susu
karena perkembangbiakan bakteri, adalah untuk melengkapi penetapan dari
kualitas air susu. Pecahnya susu disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri asam
susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam laktat.
2.2.5.
Uji Didih atau Uji Masak
Dwitania
DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwaprinsip pada uji didih yaitu, susu
yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila
melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein
menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi
apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih
adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah.
Dwitania
DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa hasil uji didih negatif ditandai
dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi, hal
ini dikarenakan susu masih dalam keadaan homogeny.
Sutrisna
et al.(2014) menyatakan baha pecahnya
susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak dikonsumsi karena
adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung dalam susu tinggi.
2.2.6.
Uji Reduktase dengan Biru Metilen
Fardiaz (1989)
menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu maka semakin cepat perubahan
warna biru menjadi putih disebabkan karena keaktifan enzim reduktase yang
dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene blue. Angka reduktase
selain digunakan untuk memperkirakan jumlah mikroorganisme di dalam susu, juga
dapat digunakan untuk menentukan kelas (grade) susu.
Nababan et al.(2014)
menyatakan bahwa waktu reduktase susu yang normal adalah dua sampai lima jam.
Semakin lama terjadi perubahan warna methylene blue pada susu segar
menjadi putih kembali menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu semakin
sedikit.
Sari et al.(2013)
menyatakan bahwa berubahnya warna biru metilen pada periode yang panjang atau
pendek, berkaitan dengan jumlah bakteri.
Walstra et al. (1999)
yang menyatakan bahwa rata-rata reduktase susu pasteurisasi yaitu lebih dari 2
jam dan kurang dari 6 jam serta jumlah bakteri antara 4-20 juta/ml.
Yulistiani et al.(2007)
menyatakan bahwa angka reduktase pada susu dapat dilihat dengan uji reduktase
menggunakan methylene blue yang dapat memberikan gambaran perkiraan
jumlah bakteri yang terdapat di dalam susu.
2.3.
Pemeriksaan Komposisi Air Susu
2.3.1.
Pengukuran Berat Jenis
Nadia
(2011) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh total solid dan merupakan
salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu. Pengukuran berat
jenis merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui adanya pemalsuan susu
yang mengakibatkan penurunan kualitas susu.
Suhardi
(2013) menyatakan bahwa pemberian makanan yang tidak cukup akan menurunkan
produksi susu. Pemberian pakan yang cukup akan meningkatkan konsumsi pakan akan
diikuti dengan kenaikan berat jenis susu.
Sukarni
(2006) menyatakan bahwa berat jenis air susu juga sangat dipengaruhi oleh berat
jenis dari komponen penyusun susu seperti protein, laktosa, dan mineral.
Utami
(2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat jenis susu akan
semakin turun.
Zuriyati
et al. (2011) menyatakan bahwa berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan
bahan kering pakan sehingga kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis
susu.
2.3.2. Pengukuran Kadar Bahan
Kering
Allen D, Tilman, (2004) menyatakan
bahwa sampel susu ditimbang dahulu sebelum diletakkan didalam cawan khusus yang
dipanaskan dengan menggunakan oven dengan temperature ± 1050C,
sampel dipanaskan sampai sampel susu tersebut tidak lagi mengalami penurunan
berat.
Asmaniya
(2007) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang tinggi menyebabkan
tersedianya substrat yang dibutuhkan untuk sintesis laktosa.Laktosa merupakan
disakarida yang disusun dari glukosa dan galaktosa. Laktosa adalah karbohidrat
utama dalam susu.
Saleh, (2004) menyatakan bahwa komposisi air susu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ternak dan keturunannya (hereditas),
bulan laktasi, umur ternak, peradangan pada ambing, pakan ternak, lingkungan
dan prosedur pemerahan susu. Lebih kentalnya susu dibandingkan air adalah
karena banyaknya bahan kering yang terdapat didalamnya, seperti lemak, protein,
karbohidrat, vitamin, dan mineral.
Wibowo
(2013) menyatakan bahwa kandungan bahan kering susu tergantung pada zat-zat
makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor
pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.
Zuriyati
et al. (2011) menyatakan bahwa bahan
kering (BK) adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein,
laktosa dan abu.
2.3.3.
Penentuan Kadar Protein
Anggraeni et al.(2001) menyatakan bahwa susu
sapi perah merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam
mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena susu bernilai gizi tinggi dan
mempunyai komposisi zat gizi lengkap dengan perbandingan gizi yang sempurna,
sehingga mempunyai nilai yang sangat startegis.
Ekawati(2014) menyatakan bahwa protein hewani
merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan
kesehatan manusia. Kebutuhan akan protein hewani semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya taraf hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu.
Sumudhita(1989)
menyatakan bahwa susu merupakan sumber energi karena mengandung laktosa dan
lemak, sumber zat pembangun karena mengandung protein dan mineral serta sebagai
bahan-bahan pembantu proses metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara
kimiawi susu normal mempunyai susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak
(3,70%), protein (3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%).
2.3.4.
Mikrobiologi Susu
Badan Standarisasi Nasional (2009) menetapkan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam susu segar dan susu pasteurisasi, untuk total
bakteri pada susu segar 1 x 106 koloni/ml dan untuk susu pasteurisasi 5 x 104
koloni/ml.
Djaafar dan Siti (2007)
menyatakan bahwa mikroorganisme yang sering terdapat pada susu sapi adalah dari
famili Lactobacteriaceae (Streptococcus lactis), famili Enterobacteriaceae
(Escherichia coli) dan Staphylococcus.
Fardiaz(1992) menyatakan bahwa perhitungan jumlah bakteri dilakukan
dengan metode Total Plate Count (metode hitung cawan) secara duplo.
Prinsip dari metode ini adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan
pada medium agar, maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni
yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan
mikroskop.
Gaman dan Sherrington
(1981) menjelaskan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah waktu,
pakan, kelembaban, suhu, oksigen, dan pH.
Mastuti(2007)
menyatakan bahwa untuk menghitung jumlah kandungan bakteri pada susu, sampel
ditanam di dalam media NA (Nutrien Agar) untuk selanjutnya di inkubasi. Koloni
bakteri yang tumbuh dihitung, kemudian diamati karakteristik mengenai bentuk
dan warnanya.
Nersser(2005) menyatakan bahwa hitungan cawan
yang paling baik adalah cawan yang memiliki 10.000 koloni/cawan yang
perhitungannya dilakukan dengan mikroskop pada perbesaran rendah.
Penn(2001) menyatakan bahwa Bakteri koliform
dapat dihitung dengan menggunakan metode cawan petri (metode perhitungan secara
tidak langsung yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup
akan berkembang menjadi satu koloni yang merupakan suatu indeks bagi jumlah
organisme yang dapat hidup yang terdapat pada sampel).
Puspitasari et al. (2012)
menyatakan bahwa pengenceran digunakan karena untuk menumbuhkan koloni bakteri
pada media yang terbatas tidak mungkin dilakukan penghitungan bakteri yang
berjumlah puluhan ribu.Pengenceran ini dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan
bakteri pada sampel.
Sugiyono(2002) menyatakan bahwa setelah diinkubasikan,
koloni yang tumbuh dihitung dianggap bahwa 1 koloni berasal dari satu sel atau
satu spora bakteria.
Sukandar et al (2010)
menyatakan bahwa sebaiknya jumlah koloni mikroba yang tumbuh dan dapat dihitung
berkisar antara 30-300 koloni.Metode cawan dengan jumlah koloni yang tinggi
(>300) sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan
sangat besar. Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah koloni atau bakteri
adalah cfu/mL (cfu = colony forming units).
Waluyo(2004) menyatakan
bahwa dimana jumlah terbaik adalah antara
30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm permukaan.Prinsip
pengenceran adalah menurunkan jumlah sehingga semakin banyak jumlah pengenceran
yang dilakukan, makin sedikit sedikit jumlah meikrobia, dimana suatu saat
didapat hanya satu mikrobia pada satu tabung.
2.3.5. Diagnosa Mastitis
Andriani (2010)
menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT) ditentukan dengan cara
mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di
dalam paddel. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran horizontal
selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada
kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California Mastitis
Test (CMT) yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit
pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum
terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++) jel
yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk memudahkan
perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing,
untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3
dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.
Pradlee, et al,. (2011)
menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT) merupakan salah satu metode
diagnosa mastitis subklinis yang sampai saat ini dianggap sederhana dan cepat
yaitu metode dengan menggunakan alat yang disebut paddle dan menggunakan reagen
IPB-1 untuk mengetahui tingkat keparahan mastitis subklinis yang dialami.
Subronto (2003) menyatakan bahwa mastitis adalah istilah
yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut
ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu,
disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar.
2.4. Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu
2.4.1. Pembuktian Penambahan Santan
Secara Mikroskopik
Boilman (2008), menyatakan
bahwa 1 liter susu asal ternak yang segar dapat dipalsukan dengan 10 varietas
asal lemak nabati ataupun prodik tumbuhan lainnya.
Deman (2007), menyatakan
bahwa cirri khas susu yang ditambahkan dengan mixer pati akan menunjukkan spesifikasi
larutan berbentuk kental dan mengandung warna biru.
Friendhsman. P (2000), menyatakan
bahwa dalam bundaran pengamatan mikroskop, butiran lemak susu akan
diprioritaskan lebih berhomogen serta mengandung struktur yang lebih kecil,
dibandingkan dengan spesifikasi lemak nabati lainnya.
2.4.2. Pembuktian Penambahan Pati
Brody
(2002), yang menyatakan bahwa dalam
pembuktian pemalsuan susu yang ditambahkan pati maka dapat duji dengan
mencapurkan larutan asam asetat, larutan lugol, dan tabung reaksi tersebut
dipanaskan.
Frandson
(2002) yang mengatakan bahwa dalam
pemeriksaan pemalsuan susu dengan cara pembuktian penambahan pati bila positif mengandung
pati maka filtrate warna menjadi biru, kemudian bila warna kuning berarti
negatif dan bila berwarna hijau reaksi diragukan.
Nana (2002), menyatakan
bahwa erfek susu yang dipalsukan akan menurunkan kadar zat-zat penting yang
terdapat didalam susu dengan kemasan yang segar.
BAB
III
MATERI
DAN PERALATAN
3.1.
Tempat Dan Waktu
Praktikum Produksi
Ternak Perah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi
setiap hari Kamis, dari tanggal 13 Oktober 2016 sampai tanggal 17 November 2016
pukul 15.00 WIB sampai dengan selesai.
3.2.
Materi dan Peralatan
Alat yang digunakan
dalam praktikum anatomi alat pencernaan ini adalah cutter, terpal, alcohol, dan
ember.
Alat yang digunakan
dalam praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah tabung reaksi, penjepit
tabung reaksi, pipet 10 ml, pembakar bunsen, kertas saring (diameter 25 cm),
corong, gelas penampung atau beker glass, pH meter atau kertas lakmus, tabung
reduktase, pipet 1 ml dan 25 ml, dan penangas air.
Alat yang digunakan
dalam praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah laktodensimeter,
thermometer, gelas ukur 100 ml dan 250 ml, labu Erlenmeyer 250 ml dan 500 ml,
penangas air, timbangan analitik skala 0.1 mg, lemari pengering (oven)
temperature 102oC, eksikator, cawan gelas berpenutup diameter 5 cm,
pipet 1 ml dan 25 ml, gelas beker 250 ml, cawan petri, incubator, tabung
reaksi, pipet steril, buret, dan paddle test.
Alat yang digunakan
dalam praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah mikroskop, gelas objek,
tabung reaksi, corong, kertas saring, busen, pipet 1 ml dan 10 ml.
Peralatan yang
digunakan pada praktikum anatomi alat pencernaan adalah saluran pencernaan
kambing yang diperoleh dari Mat Beken dan air.
Peralatan yang
digunakan pada praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah air susu,
alkohol 68%, 70%, 75%, dan 96%, dan larutan biru metilen.
Peralatan yang
digunakan pada praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah susu sapi,
larutan NaOH 0.1 N, kalium oksalat (K2C2O7H2O),
formalis 35%, phenolpthalin (PP) 2%, cobalt sulfat (CoSO4.7H2O),
aquades, media PCA, pelarut (phosphate buffer, peptone water 0,1%) dan reagen
CMT.
Peralatan yang
digunakan pada praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah air susu,
santan, larutan asam asetat, dan larutan lugol.
3.3.
Metoda
Cara kerja yang
dilaksanakan pada praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat
Pencernaan yaitu dengan mengamati bagian-bagian dari anatomi dan susunan alat
saluran pencernaan pada kambing, serta menjelaskan fungsi dari alat saluran
pencernaan kambing.
Cara kerja pada
praktikum uji organoleptik tentang uji warna yaitu masukkan 5-10 ml sampel susu
ke dalam tabung reaksi, amatilah warna susu tersebut.
Cara kerja pada
praktikum uji bau yaitu sampel susu diambil dengan alat pengambil sampel dan
dimasukkan ke dalam botol ukuran 100 ml dan diisi ¼ - penuh. Tutup botol
tersebut dengan sumbat yang tidak berbau, simpan dalam suhu rendah.Sebelum
diuji, masukkan botol tersebut dalam penangas air (35-40oC) sampai
hangat.Sambil mengangkat tutup botol, uji bau dapat dilakukan. Bedakan bau susu
sebelum dipanaskan dengan susu yang sudah dipanaskan.
Cara kerja pada
praktikum uji kekentalan yaitu dilakukan dengan memasukkan susu ke dalam tabung
reaksi, kemudian memiringkan tabung reaksi, kemudian ditegakkan kembali.
Perhatikan air susu yang membasahi dinding tabung.
Cara kerja pada
praktikum uji rasa yaitu dengan cara meneteskan air susu ke telapak tangan dan
dicicipi. Bila agak manis berarti susu tersebut normal (baik), bila pahit
berarti sudah terjadi pembentukkan peptone, bila rasa sabun berarti terkena
mastitis, bila rasa lobak berarti terkena kuman coli, bila rasa pahit dan asin
berarti kolostrum.
Cara kerja pada uji
kebersihan dengan metode saring yaitu homogenkan 500 ml sampel susu, tuangkan
sampel susu secara perlahan-lahan melalui dinding corong. Pada mulut corong
telah terpasang kertas saring.Susu ditampung dalam beker glass. Setelah kertas
saring dilepaskan, amati kotoran yang tertinggal di kertas saring tersebut.
Untuk lebih jelas, masukkan kertas saring dalam incubator atau lemari pengering
agar kering.Periksalah kotoran yang tampak pada kertas saring dan nilailah
banyaknya kotoran dan jenis kotoran yang tampak.Penilaian dapat berupa bersih,
cukup bersih, sedikit kotor, dan kotor sekali.
Cara kerja pada
praktikum pengukuran pH dengan pH meter yaitu dengan cara meletakkan pH meter
di dalam susu dan catat hasilnya.
Cara kerja pada
praktikum uji alkohol yaitu masukkan 3 ml air susu kedalam 4 tabung reaksi.
Tambahkan 3 ml alkohol 68% pada tabung I, 3 ml alkohol 70% pada tabung II,
tambahkan 3 ml alkohol 75% pada tabung III, tambahkan 3 ml alkohol 96% pada
tabung IV. Masing-masing tabung dikocok dan diamati. Bila susu pecah (ditandai
dengan endapan halus pada dinding tabung) maka sampel susu tersebut asam dan
hasil uji positif. Bila susu tidak pecah dan tetap homogeny, hasil uji
dinyatakan negative dan susu normal (baik).
Cara kerja pada
praktikum uji didih/uji masak yaitu masukkan 5 ml air susu ke dalam tabung
reaksi dan panaskan sampai mendidih. Penilaian, bila terdapat butir-butiran dan
susu tidak homogeny berarti susu pecah (rusak) dan hasil uji positif. Bila susu tetap homogeny berarti susu masih
baik (normal) dan hasil uji negatif.
Cara kerja pada
praktikum uji reduktase dengan biru metilen yaitu masukkan 1 ml larutan biru
metilen ke dalam tabung reduktase, tambahkan sampel susu sampai batas
lingkaran. Tutup tabung tersebut dengan sumbat, lalu campurkan sehingga warna
biru merata.Caranya dengan membolak-balik tabung (kira-kira 3 kali). Masukkan
tabung ke dalam penangas air (37±1o C) selama 4-4,5 jam. Penangas
air diletakkan di tempat yang terlindungi cahaya. Bila menggunakan incubator,
masukkan dahulu tabung ke dalam penangas air selama 5 menit untuk menghangatkan,
kemudian dimasukkan ke dalam incubator. Apabila akan membaca hasil, maka warna
sudah berubah menjadi putih. Sebaiknya reaksi ditunggu sampai seluruh warna
biru hilang.
Cara kerja pada
praktikum pengukuran berat jenis adalah pertama sampel susu dihomogenkan dengan
cara memindahkan dari satu erlemeyer ke erlemeyer yang lain berulang-ulang.
Secara hati-hati sampel susu dituangkan ke dalam gelas ukur melalui dindingnya
agar tidak terbentuk buih. Laktodensimeter dicelupkan ke dalam sampel susu
secara perlahan-lahan, biarkan timbul dan tunggu sampai latodensimeter berhenti
bergerak (± 1 menit). Baca skala yang tertera. Setelah pembacaan selesai, catat
suhu tera laktodensimeter dan ukur suhu sampel susu dengan thermometer. Ulangi
prosedur tersebut sebanyak 2-3 kali.Angka yang diperoleh dirata-ratakan.Skala
yang dibaca pada laktodensimeter menunjukkan decimal 2 dan 3.Decimal ke-4
dikira-kirakan. Suhu sampel susu harus di antara 20-30oC, kemudian
disesuaikan dengan suhu 27.5oC. Setiap kenaikan atau penurunan suhu susu
1oC, dilakukan penyesuaian koefisien muai air susu sebesar 0.0002.
Berat jenis susu diperoleh dengan menggunakan persamaan.
Cara kerja pada
pengukuran kadar bahan kering adalah keringkan cawan dan tutupnya dalam oven
(102oC) selama 10 menit. Setelah itu, masukkan cawan ke dalam
eksikator sampai suhunya sama dengan suhu kamar. Timbang cawan beserta tutupnya
(G1). Masukkan 3 ml sampel susu ke dalam cawan. Timbang kembali cawan yang
berisi sampel beserta tutupnya (G2).Masukkan cawan ke dalam oven (102 ± 2oC)
dan letakkan tutup cawan di samping cawan.Biarkan selama 1 jam, setelah itu
keluarkan dari oven dan masukkan cawan yang telah ditutup kembali ke dalam
eksikator (cawan harus ditutup selama berada di dalam eksikator).Setelah cawan
dingin (mencapai suhu kamar), timbanglah cawan beserta tutupnya (G3.1).Masukkan
kembali cawan ke dalam oven, keringkan selama 1 jam.Setelah itu masukkan
kembali ke dalam eksikator sampai dingin (suhu kamar).Timbang kembali cawan
tersebut (G3.2). Lakukan prosedur tersebut sampai tercapai berat konstan (G3.1
= G3.2) atau selisih hasil pengukuran sebelum dan sesudahnya tidak melebihi 0.5
mg. Selisih berat cawan dengan cawan kosong adalah berat bahan kering sampel.
Cara kerja pada
praktikum penentuan kadar protein cara titrasi formol adalah masukkan 10 ml
susu ke dalam Erlenmeyer 125 ml dan tambahkan 20 ml aquades serta 0.4 ml
larutan K-oksalat jenuh (K-oksalat:air = 1:3, perhatian: K-oksalat beracun) dan
3 tetes phenolpthalin. Diamkan 2 menit.Titrasilah larutan contoh dengan 0.1 N NaOH
sampai mencapai warna standar atau sampai warna merah jambu. Setelah warna
tercapai, tambahkan 2 ml larutan formaldehid 40% dan titrasilah kembali dengan
larutan NaOH sampai warna standar tercapai lagi. Catatlah titrasi kedua.
Buatlah titrasi blangko yang terdiri dari : 20 ml aquades + 0.4 ml larutan
K-oksalat jenuh + 1 ml indicator phenolpthalin + 2 ml larutan formaldehid dan
titrasilah dengan larutan NaOH. Titrasi terkoreksi yaitu titrasi kedua
dikurangi titrasi blangko merupakan titrasi formal. Untuk susu digunakan factor
1.83.
Cara kerja pada
praktikum mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan metode tuang yaitu beri
label tabung reaksi yang berisi larutan pengencer dan cawan petri. Lakukan
pengenceran contoh secara decimal (menjadi pengencer 1:10; 1:100; dsb).
Ambillah contoh 0,1 ml atau 1 ml yang telah diencerkan ke dalam cawan petri.
Tuangkan media agar cair (suhu 47,5oC) sebanyak 12-15 ml untuk
setiap cawan.Selama penuangan medium, tutup cawan tidak boleh dibuka terlalu
lebar.Segera setelah penuangan media agar cair, goyangkan cawan membentuk angka
delapan di atas meja untuk menyebarkan sel mikroba.Setelah agar memadat,
masukkan cawan petri ke dalam incubator dengan posisi terbalik selama 24-36 jam
pada suhu 30-32oC.Hitunglah jumlah koloni yang terdapat pada agar
dan laporkan sebagai jumlah koloni per ml.
Cara kerja pada praktikum
mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan metode permukaan/ sebar yaitu
tuangkan 15 ml agar cair ke dalam cawan petri dan biarkan memadat. Sebarkan
larutan sampel ke seluruh permukaan agar dengan menggunakan ose bengkok.Biarkan
contoh mengering, kemudian cawan petri dibalik dan diinkubasi selama 24-48 jam
pada suhu 30-32oC.Lakukan perhitungan koloni yang terdapat dalam
agar.
Cara kerja pada
praktikum diagnosa mastitis yaitu 2 cc air susu ditambahkan 3 ml reagen CMT di
paddle tes, kemudian diaduk secara memutar, amati reaksi yang terjadi.
Cara kerja pada
praktikum penambahan santan secara mikroskopik yaitu bersihkan objek glass,
teteskan 1 tetes susu dan tutup dengan gelas penutup (cover glass), hindari
terbentuknya gelembung udara. Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran
objektif 10 x dan 45 x. Tampak di bawah mikroskop butir-butir lemak susu
homogen, sedangkan butir-butir lemak nabati lebih besar dari butir lemak susu.
Cara kerja pada
pratikum pembuktian penambahan pati yaitu masukkan 10 ml sampel susu ke dalam
tabung reaksi, tambahkan 0,5 ml asam asetat. Panaskan tabung dan kemudian
sampel susu disaring. Ke dalam filtrate teteskan 4 tetes lugol. Apabila positif
mengandung pati, maka warna filtrate menjadi biru.Bila berwarna kuning artinya
negative.Apabila berwarna hijau, reaksi diragukan.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Anatomi Alat Pencerrnaan
Ruminansia
merupakan binatang berkuku genap sub ordo dari ordo Artiodactyla disebut
juga mamalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa
Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau
memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah
biak. Sistem pencernaan (tractus digestivus) ruminansia terdiri atas suatu
saluran muskulo membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus.Fungsinya
adalah memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta
mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat.
Pencernaan
pada ruminansia dimulai dari proses pengambilan makanan yang dilakukan secara
prehensi yaitu makanan diambil melalui mulut. Di dalam mulut terdapat kelenjar
saliva yang berfungsi sebagai suplai nutrisi dan larutan buffer.Setelah makanan
di kunyah (mastikasi), makanan masuk melalui esophagus menuju ke
lambung.Lambung ruminansia terdapat 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum,
dan abomasum. Makanan di dalam rumen mengalami proses fermentatif yang
menghasilkan VFA, kemudian makanan masuk ke retikulum. Fungsi retikulum yaitu
menyaring benda-benda asing. Setelah dari retikulum, makanan akan dimuntahkan
kembali ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi). Kemudian
makanan masuk ke omasum kemudian ke abomasum. Setelah melalui abomasum, makanan
masuk ke usus halus dimana terjadi proses penyerapan sari-sari makanan. Dari
usus halus makanan masuk ke usus besar.Di usus besar terdapat kolon dan
sekum.Di usus besar terjadi penyerapan air.Dari usus besar makanan yang tidak
dapat diserap atau sisa masuk ke rektum dan menuju ke anus.Di dalam anus
terdapat otot sphincter.
Pada proses pencernaan
hewan ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba pada
rumen dan secara hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan di abomasum. Proses
memamah biak pada ujung anterior rumen didorong kembali melalui esophagus
menuju mulut, kemudian cairan segera ditelan sementara materi padat kembali
dikunyah dalam mulut sebelum dikembalikan ke dalam rumen. Mikroba alami yang terdapat
dalam rumen melakukan fermentasi secara anaerobik.Mikroba tersebut mendegradasi
senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam bahan pakan termasuk selulosa
dan hemiselulosa (polisakarida) menjadi senyawa-senyawa sederhana (Kaunang,
2004).
4.1.1. Mulut
Proses pencernaan pada
ternak ruminansia dibagi menjadi 3 yaitu : 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi
di dalam mulut .2 . Pencernaan Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan
ternak itu sendiri .3. Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme
rumen (Bath dkk., 1985).
Di dalam mulut terjadi
proses mastikasi atau pengunyahan. Menurut Rahmadi, dkk, (2003) mastikasi
disebut juga chewing, pakan seolah digerus antara geraham bawah dan geraham
atas dengan frekuensi yang berbeda-beda tergantung pada jumlah pakan dan
kondisi pakan. Jenis gigi, susunan rahang, dan kebiasaan mengunyah akan
mempengaruhi variasi dari mastikasi. Tujuan mastikasi adalah memperkecil ukuran
partikel pakan dan sekresi saliva.
Selain proses
mastikasi, di dalam mulut juga terjadi proses remastikasi yaitu pengunyahan
kembali makanan setelah dimuntahkan dari dalam rumen. Menurut Frandson, (1993)
proses remastikasi terjadi secara lebih lambat dibandingkan mastikasi yaitu 55
kali per menit. Seekor domba rata-rata melakukan ruminasi selama delapan jam,
walaupun aktivitas ini bisa dikendalikan sesuai kehendak,misalnya remastikasi
pada saat pengeluaran bolus bergantung juga pada keadaan sekitar. Bolus yang
terbentuk setelah regurgitasi dan pengunyahan akan dikeluarkan untuk diremastikasi.
Material yang diregurgitasi biasanya terdiri atas hijauan dan cairan.Satu kali
remastikasi biasanya berlangsung rata-rata satu menit.
4.1.2. Esophagus
Kerongkongan
(esophagus), merupakan saluran penghubung antara mulut dengan
lambung.Sepertiga bagian atasnya terdiri dari otot lurik, sedangkan dua pertiga
bagian bawahnya terdiri dari otot polos.Makanan pada saluran ini hanya
memerlukan waktu 6 detik untuk sampai ke lambung sebab adanya
gerak peristaltik (meremas) dinding esophagus.Gerakan ini terjadi
karena otot memanjang dan melingkar dinding esophagus mengerut. Peralihan
makanan hasil pengunyahan daripada organ mulut adalah organ kerongkongan.Pada
organ ini makanan hanya lewat begitu saja, dengan bantuan dorongan daripada
kelenjar saliva (air liur).Tetapi kekuatan daripada dorongan air liur tersebut
mengandung gerak hipertonis (gerak yang berlebihan).
Menurut Frandson,
(1993) esophagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju perut besar atau
lambung, sedang makanan boleh jadi tidak mengalami perubahan
sepanjang esophagus. Esophagus merupakan
kelanjutan langsung dari farink, merupakan suatu saluran muskuler yang
merentang dari farink menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal
dari diafragma.
4.1.3. Lambung
Lambung ruminansia
terdiri dari 4 bagian yaitu rumen (lambung pertama dengan kapasitas 100-230
liter pada sapi), retikulum (lambung ke dua atau perut jala), omasum (lambung
ke tiga atau perut buku) dan abomasum (lambung keempat atau perut sejati)
(Sarwono dan Arianto, 2005).
Proses pencernaan di
dalam lambung depan terjadi secara mikrobial .Mikroba memegang peranan penting
dalam pemecahan makanan.Sedangkan di dalam lambung sejati terjadi pencernaan
enzimatik karena lambung ini mempunyai banyak kelenjar (Cole, 1962).
Rumen merupakan bagian
kiri dari rongga perut, terbagi menjadi kantong-kantong kecil yang tersusun
oleh muscular pillars, membran mukose yang menyusunnya bentuk glandular, secara
keseluruhan terdapat papila (papillae) dan tersusun oleh dua lapis jaringan
otot.
Rumen merupakan tempat
pencernaan sebagian serat kasar serta proses fermentatif yang terjadi dengan
bantuan mikroorganisme, terutama bakteri anaerob dan protozoa (Chuticul, 1975).
Bakteri dalam rumen dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1)
kelompok pencerna selulosa, (2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok
pencerna pati, (4) kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6)
kelompok pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik (Arora, 1989).
Menurut Kamra (2005)
proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi sangat intensif. Hal
ini menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk yang
lebih mudah diserap.Selain itu ternak ruminansia dapat juga memanfaatkan pakan
dengan kandungan serat kasar yang tinggi dalam jumlah yang banyak.Ekosistem
mikroba rumen sangat stabil dan dinamis. Pada ternak yang sehat kontaminasi
ekosistem seolah tidak terjadi, pada kenyataannya jutaan mikroba dalam rumen
banyak berasal dari pakan, air minum dan udara setiap harinya. Ekosistem rumen
dinamis, ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan, mikroba rumen dapat
beradaptasi dengan pakan tersebut. Hal ini terjadi karena mikroorganisme
teradaptasi untuk terus hidup dalam rumen dan yang tidak mampu beradaptasi akan
tereliminasi.
Perut paling depan
(cranial) terdapat retikulum, bangunannya seperti sarang tawon dan membran
mukosanya tersusun oleh stratified epithelium. Retikulum berfungsi untuk
menyaring benda-benda asing yang terdapat pada makanannya.Sering kali ditemui
benda-benda asing di dalam retikulum seperti paku, tali, dan benda asing
lainnya yang tidak dapat diserap oleh tubuh ternak.Benda-benda asing tersebut
bisa menyebabkan radang atau penyakit yang disebut hardware disease pada retikulum.
Omasum
disebut sebagai perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100
lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut
terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Omasum bentuknya spherical,
menghancurkan roughages, terletak sebelah kanan rumen dan retikulum dan caudal
(belakang) hati.
Abomasum
adalah ruang keempat dan terakhir dari lambung ruminansia, fungsinya mirip
dengan lambung tunggal yang ditemukan pada manusia dan mamalia non-ruminansia.Abomasum merupakan lambung sejati (seperti pada
non-ruminant), merupakan bagian kelenjar dari sistem pencernaan, letaknya ventral omasum
pada bagian kanan.
4.1.4. Usus Halus
Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan
ileum.Duodenum merupakanbagian
pertama/paling depan/akhir dari pilorus lambung, saluran dari pankreas dan
kantong empedu. Jejenum sering disebut
usus kosong merupakan bagian kedua dari usus halus, dan ileum merupakan bagian
terakhir dari usus halus. Ileum akan dilanjutkan dengan caecum/usus buntu, colon/usus besar
dan akhirnya bermuara pada rectum
atau anus.Batas antara
ketiganya tidak terlalu jelas.Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson, (1993)
yang menyatakan bahwa usus halus terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum,
jejenum, dan ileum.Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus.Saluran
yang berasal dari hati dan saluran pancreas menyatu ke dalam duodenum pada
jarak yang pendek di belakang pylorus.Jejenum dengan jelas dapat dipisahkan
dengan duodenum.Jejenum bermuladari kira-kira pada posisi dimana mesenteri
mulai kelihatan memanjang.Jejenum dan ileum bersambung dan tidak ada batas yang
jelas diantaranya.Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum.
Fungsi usus halus
adalah dalam penyerapan nutrisi, sedangkan usus besar adalah penyerapan air,
sekresi beberapa mineral seperti kalsium, tempat penampungan pakan yang tidak
tercerna, dan fermentasi oleh bakteri (E. Purbowati et al, 2014).
4.1.5. Usus Besar
Usus besar/Large intestine terdiri dari cecum/usus buntu, colon/usus besar
dan rectum atau anus.Hal ini
sesuai dengan pendapat Frandson, (1993) yang menyatakan bahwa usus besar
terdiri atas secum yang merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri
atas bagian-bagian yang naik, mendatar, dan turun. Bagian turun akan berakhir
di rectum dan anus.
Sekum
merupakan suatu kantung buntu dan kolon yang terdiri atas bagian yang unik,
mendatar dan turun. Bagian yang turun akan berakhir direktum dan anus. Usus
buntuk bersama kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan
karbohidrat lainnya yang tidak terfermentasi di dalam rumen, pada ruminansia
alat pencernaan itu jauh lebih besar.Rektum sebagai saluran pendek, terdiri
dari garis otot polos dengan membrane mukosa dan mempunyai lapisan serosa pada
interior dan berakhir pada anus dan dubur.Rektum berfungsi untuk menyimpan
feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan (Iis Istidamah, 2006).
4.2.
Pemeriksaan Kesegaran Air Susu
4.2.1.
Uji Sensorik atau Uji Organoleptik
Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara
organoleptik susu akan mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa,
dan aroma dari susu yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya
aktifitas mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.
Dari
pengujian yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa warna, bau dan rasa dari
susu tersebut adalah normal. Dari uji kekentalan didapat hasil bahwa susu yang
ditambah air akan mengakibatkan susu menjadi encer, jika susu ditambahkan
santan maka susu menjadi kental pekat, dan susu yang murni terlihat tidak
terlalu kental serta tidak cair dan tidak berlendir (normal).
Pada uji rasa didapat
hasil bahwa susu yang ditambah air memiliki rasa yang tawar, susu yang ditambah
santan memiliki rasa yang manis serta gurih, dan susu murni memiliki rasa agak
manis. Hal ini sesuai dengan pendapat Habibah
dan Kadhafi Mu’ammar (2011) yang menyatakan bahwa susu pasteurisasi yang
normal memiliki rasa yang lezat sedikit manis karena mengandung karbohidrat
yaitu laktosa dan mempunyai aroma yang spesifik. Cita rasa susu berhubungan
dengan keseimbangan antara rasa manis akibat kandungan laktosa tinggi dan rasa
asin dari kadar klorida. Susu dengan kandungan laktosa rendah tetapi kadar
klorida tinggi menyebabkan cita rasa susu menjadi asin.
4.2.2.
Uji Kebersihan dengan Metode Saring
Susu
murni atau susu segar merupakan hasil dari proses pemerahan dan belum mendapat
perlakuan apapun kecuali pendinginan. Nilai gizinya yang tinggi menyebabkan
susu menjadi media yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak
layak dikonsumsi (Zakaria dkk.,2011).
Pada
uji kebersihan dengan metode saring didapat hasil bahwa pada kertas saring
terlihat sedikit kotoran seperti bulu halus dan bintik hitam. Hal ini
menunjukkan bahwa susu tersebut cukup bersih.
Menurut
pendapat Gustiani(2009) kontaminasi bakteri dimulai setelah susu keluar dari
ambing danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur susu yang lebih
panjang.
4.2.3.
Pengukuran pH dengan pH meter
Uji
keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log
konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya susu segar
mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi
asam laktat oleh mikroba (Suardana dan Swacita, 2009).
Dari
pengujian pH susu didapat hasil bahwa susu tersebut memiliki pH 6,6 yang
berarti bahwa susu masih dalam kualitas yang bagus. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Manik(2006) yang menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat
disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu,
kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam
laktat oleh mikroorganisme aktivitas enzimatik. Menurut Suardana dan Swacita
(2004), apabila pH di bawah 6,5 kemungkinan susu tersebut telah rusak oleh
bakteri, sedangkan pH lebih besar dari 6,7 menunjukkan adanya kelainan seperti
mastitis.
4.2.4.
Uji Alkohol
Prinsip dasar pada uji alkohol
merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau
mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu
dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan
berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah
alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama
banyaknya (Dwitania DC dan Swacita IBN. 2013).
Tabel
1. Hasil Uji Alkohol
Tabung
|
Konsentrasi
Alkohol (%)
|
Hasil
|
1
|
68
|
Positif
|
2
|
70
|
Positif
|
3
|
75
|
Positif
|
4
|
96
|
Negatif
|
Pada
uji alkohol jika terdapat endapan atau gumpalan halus pada dinding tabung maka
susu memiliki hasil uji positif, jika susu homogen dan tidak terdapat endapan
di sekitar dinding maka hasil uji negative. Sesuai dengan pendapat Dirkeswan(1977)yang menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang
negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding
tabung reaksi.
Susu
pecah menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan dari air susu adalah tinggi.
Uji alkohol berdasarkan kenaikan tingkat keasaman dari air susu karena
perkembangbiakan bakteri, adalah untuk melengkapi penetapan dari kualitas air
susu. Pecahnya susu disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri asam susu, dalam
hal ini laktosa diubah menjadi asam laktat (Nababan et al., 2015). Pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah
sehingga tidak layak dikonsumsi karena adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang
terkandung dalam susu tinggi (Sutrisna et
al., 2014).
4.2.5.
Uji Didih atau Uji Masak
Hasil
yang didapat pada uji didih atau uji masak adalah susu tetap homogen yang
berarti susu masih baik (normal) dan hasil uji didih adalah negatif.
Prinsip
pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah
ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan
kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan
pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat
dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah
(Dwitania DC dan Swacita IBN., 2013).
4.2.6.
Uji Reduktase dengan Biru Metilen
Angka reduktase pada
susu dapat dilihat dengan uji reduktase menggunakan methylene blue yang
dapat memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri yang terdapat di dalam susu
(Yulistiani et al., 2007).Berubahnya warna biru metilen pada periode
yang panjang atau pendek, berkaitan dengan jumlah bakteri(Sari et al., 2013).
Hasil yang didapatkan
dari pengujian reduktase dengan biru metilen adalah tidak terjadi perubahan
warna yang signifikan, hal tersebut dikarenakan kondisi alat penangas yang
tidak optimal sehingga menyebabkan suhu pemanasan tidak dapat diatur sesuai
prosedur. Menurut pendapat Nababan et al. (2014) waktu reduktase susu
yang normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi perubahan warna methylene
blue pada susu segar menjadi putih kembali menunjukkan bahwa jumlah bakteri
dalam susu semakin sedikit.
Fardiaz (1989)
menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu maka semakin cepat perubahan
warna biru menjadi putih disebabkan karena keaktifan enzim reduktase yang
dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene blue. Angka reduktase
selain digunakan untuk memperkirakan jumlah mikroorganisme di dalam susu, juga
dapat digunakan untuk menentukan kelas (grade) susu.
4.3.
Pemeriksaan Komposisi Air Susu
4.3.1.
Pengukuran Berat Jenis
Pada pengukuran
berat jenis,digunakanbobot jenis
ditera dengan suatu alat yang disebut laktodensimeter. Prinsip kerja alat ini
berdasarkan hukum Archimedes yang menyatakan bahwa tiap benda yang
dimasukkan ke dalam zat cair, maka pada benda tersebut akan bekerja
tekanan ke atas yang sama dengan berat cairan yang dipindahkan oleh alat
tersebut.
Setelah sample susu dihomogenkan
dengan memindahkan susu dari erlemeyer yang satu ke erlemeyer yang lain secara
berulang-ulang, kemudian dituangkan kedalam gelas ukur secara hati-hati agar
tidak timbul buih lalu dicelupkan laktodensimeter secara perlahan-lahan sampai
laktodensimeter itu berhenti bergerak dan setelah itu catat suhu yang tedapat
pada laktodensimeter dan diukur dengan thermometer maka didapat hasil sebagai
berikut.
Tabel
2. Hasil Pengukuran Berat Jenis.
Skala
Berat Jenis
|
Suhu
(Thermometer)
|
Suhu
(Laktodensimeter)
|
Berat
Jenis
|
1024
|
28oC
|
28oC
|
1.0528
|
Pada
tabel di atas didapat hasil berat jenis pada susu sampel yaitu 1.0528. Menurut pendapat Nadia (2011) berat jenis
dipengaruhi oleh total solid dan merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam penilaian susu. Pengukuran berat jenis merupakan salah satu
alternatif untuk mengetahui adanya pemalsuan susu yang mengakibatkan penurunan
kualitas susu. Berat jenis air susu juga sangat dipengaruhi oleh berat jenis
dari komponen penyusun susu seperti protein, laktosa, dan mineral (Sukarni,
2006).
Utami
(2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat jenis susu akan
semakin turun. Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa berat jenis susu
dipengaruhi oleh kandungan bahan kering pakan sehingga kenaikan bahan kering
akan meningkatkan berat jenis susu.
4.3.2.
Penentuan Kadar Bahan Kering
Bahan
kering (BK) adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein,
laktosa dan abu (Zuriyati et al.,
2011). Pada pengukuran kadar bahan kering dengan
metode pengeringan. Setelah cawan dan tutupnya dikeringkan dalam oven (102oC)
selam 10 menit, kemudian cawan dimasukkan kedalam eksikator sampai suhunya sama
dengan suhu kamar, ketiga timbang cawan berserta tutupnya (G.1), kemudian masukkan 3 ml sampel susu
kedalam cawan dan timbang kembali cawan yang berisi sampel berserta tutupnya
(G.2), masukkan cawan kedalam oven suhu 102oC dan letakkan tutup
cawan disamping cawan, biarkan selama 1 jam, keluarkan dari oven kemudian
masukkan kedalam eksikator. Setelah itu ditimbang kembali (G.3). Menurut
pendapat Allen D, Tilman (2004) sampel susu ditimbang dahulu sebelum diletakkan
didalam cawan khusus yang dipanaskan dengan menggunakan oven dengan temperature
± 1050C, sampel dipanaskan sampai sampel susu tersebut tidak lagi
mengalami penurunan berat.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatlah hasil dari
penentuan kadar bahan kering susu sebagai berikut.
Tabel
3. Hasil Penentuan Kadar Bahan Kering.
Kel.
|
G.1
|
G.2
|
G.3
|
Bahan
Kering (%)
|
1
|
11
|
14
|
13
|
66.7
|
2
|
21
|
23
|
22
|
50
|
3
|
19
|
22
|
22
|
100
|
4
|
21
|
24
|
23
|
66.7
|
5
|
21
|
23
|
22
|
50
|
6
|
22
|
25
|
24
|
66.7
|
7
|
11
|
13
|
12
|
50
|
8
|
10
|
13
|
12
|
66.7
|
Tabel
tersebut menunjukkan bahwa kadar bahan kering yang ada di susu berbeda-beda
setiap kelompoknya. Bahan kering yang ada di susu rata-rata di atas 50% yang
berarti bahwa susu tersebut sedikit mengandung air dan banyak mengandung bahan
kering.
Menurut
pendapat Wibowo (2013) kandungan bahan kering susu tergantung pada zat-zat
makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor
pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.
4.3.3.
Penentuan Kadar Protein
Hasil
praktikum mengenai penentuan kadar protein di dalam susu dapat dilakukan dengan
cara titrasi formol dan didapat hasil sebagai berikut.
Tabel
4. Hasil Penentuan Kadar Protein
Titrasi
blangko
|
Titrasi
larutan
|
Titrasi
formol
|
%
Protein Susu
|
%
Kasein
|
0.8
|
2.3
|
1.5
|
2.745
|
2.445
|
Pada tabel di atas adalah hasil dari penentuan kadar
protein yang ada di dalam susu. Kadar proteinnya adalah 2.745% dan kasein pada
susu tersebut adalah 2.445%. Sumudhita(1989) menyatakan bahwa susu merupakan
sumber energi karena mengandung laktosa dan lemak, sumber zat pembangun karena
mengandung protein dan mineral serta sebagai bahan-bahan pembantu proses
metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara kimiawi susu normal mempunyai
susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak (3,70%), protein (3,50%), laktosa
(4,90%), dan mineral (0,07%).
Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan akan
protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup
manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal
ternak yang dapat digunakan adalah susu(Ekawati, 2014).
4.3.4.
Mikrobiologi Susu
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count
(metode hitung cawan) secara duplo. Prinsip dari metode ini adalah jika jasad
renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel tersebut akan
berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung
dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992).
Untuk menghitung jumlah
kandungan bakteri pada susu, sampel ditanam di dalam media NA (Nutrien Agar)
untuk selanjutnya di inkubasi. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung, kemudian
diamati karakteristik mengenai bentuk dan warnanya (Mastuti, 2007).
Tabel
5.Hasil Perhitungan Mikroba dengan Cara Tuang.
Faktor
Pengenceran
|
Jumlah
Koloni
|
Koloni
Per ml
|
10-7
|
39
|
3,9
x 108
|
10-8
|
66
|
6,6
x 109
|
10-9
|
20
|
2
x 1010
|
Dari data di atas didapat hasil dari
perhitungan mikroba dengan metode tuang yaitu pada pengenceran ke tujuh jumlah
koloni per ml adalah 3,9 x 108, pada pengenceran ke delapan jumlah
koloni per ml adalah 6,6 x 109 dan pada pengenceran ke sembilan
jumlah koloni per ml adalah 2 x 1010.
Tabel
6.Hasil Perhitungan Mikroba dengan Cara Sebar.
Faktor
Pengenceran
|
Jumlah
Koloni
|
Koloni
Per ml
|
10-7
|
190
|
1,9
x 109
|
10-8
|
23
|
2,3
x 109
|
10-9
|
43
|
4,3
x 1010
|
Dari
data di atas didapat hasil dari perhitungan mikroba dengan metode sebar yaitu
pada pengenceran ke tujuh jumlah koloni per ml adalah 1,9 x 109,
pada pengenceran ke delapan jumlah koloni per ml adalah 2,3 x 109
dan pada pengenceran ke sembilan jumlah koloni per ml adalah 4,3 x 1010.
Dari pengujian
perhitungan mikroba secara tidak langsung dengan metode tuang dan sebar
didapatkan hasil berbeda-beda, hal ini disebabkan karena bedanya faktor
pengencer yang digunakan.Menurut pendapat Puspitasari et al. (2012),
pengenceran digunakan untuk menumbuhkan koloni bakteri pada media yang terbatas
dan tidak mungkin dilakukan penghitungan bakteri yang berjumlah puluhan
ribu.Pengenceran ini dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan bakteri pada sampel.
Jumlah mikroba yang
terdapat pada susu tersebut kurang bagus, karena sebaiknya jumlah koloni
mikroba yang tumbuh dan dapat dihitung berkisar antara 30-300 koloni. Metode
cawan dengan jumlah koloni yang tinggi (>300) sulit untuk dihitung sehingga
kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar (Sukandar et al., 2010).
4.3.5. Diagnosa Mastitis
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang
terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan
kenaikan sel di dalam air susu dan
perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya
perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003).
Pada diagnosa mastitis dilakukan dengan cara uji CMT yaitu dengan
memasukkan 2 cc air susu kemudian ditambah 3 ml reagen CMT di dalam padle test,
kemudian diaduk secara memutar. Reakti yang terjadi adalah sebagai berikut.
Tabel 7.Hasil Diagnosa Mastitis Dengan Uji CMT
Larutan
|
Kode
|
Reaksi
|
Estimasi Jmlh
Sel Somatik
|
Susu segar
|
-
|
Cairan susu
normal
|
0-250.000
sel/ml
|
Susu rusak
|
+1
|
Terdapat
endapan agak pekat
|
400.000-1.500.000
sel/ml
|
Dari
hasil di atas reaksi yang terjadi pada susu segar yaitu cairan susu normal atau
tidak terjadi reaksi, pada susu rusak terdapat endapan yang agak pekat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Andriani (2010) yang menyatakan bahwareaksi
ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu, kemudian
ditentukan berdasarkan skoring California Mastitis Test (CMT) yaitu (- ) tidak
ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++)
terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk, (+++) campuran
menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan
permukaan menjadi cembung, untuk memudahkan perhitungan statistik maka
lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya
0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4
untuk tiap puting susu.
4.4.
Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu
4.4.1.
Pembuktian Penambahan Santan Secara Mikroskopik
Hasil yang diperoleh dari pembuktian penambahan santan
secara mikroskopik yaitu setelah dilakukan percobaan bahwa susu murni memiliki
partikel yang kecil dan halus serta homogen. Sedangkan pada susu yang
ditambahkan santan memiliki perbedaan partikel. Partikel pada santan memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan partikel pada susu murni dan tidak
homogen.
Menurut pendapat Friendhsman. P (2000), menyatakan bahwa dalam bundaran pengamatan mikroskop,
butiran lemak susu akan diprioritaskan lebih berhomogen serta mengandung
struktur yang lebih kecil, dibandingkan dengan spesifikasi lemak nabati
lainnya.
4.4.2.
Pembuktian Penambahan Pati
Pada praktikum pembuktian penambahan pati yang dilakukan
dengan cara memasukkan 10 ml susu ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 0,5
ml asam asetat. Kemudian dipanaskan dan disaring, didalam filtrate ditambah
lugol sebanyak 4 tetes dan didapat hasil yaitu bahwa warna pada filtrate
setelah ditambah lugol adalah kuning yang berarti negatif dan di dalam susu
tersebut tidak ada penambahan pati.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Frandson (2002)yang
mengatakan bahwa dalam pemeriksaan pemalsuan susu dengan cara pembuktian
penambahan pati bila positif mengandung pati maka filtrate warna menjadi biru,
kemudian bila warna kuning berarti negatif dan bila berwarna hijau reaksi
diragukan.Efek susu yang dipalsukan akan menurunkan kadar zat-zat
penting yang terdapat didalam susu dengan kemasan yang segar (Nana, 2002).
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Kesimpulan
pada praktikum anatomi alat pencernaan yaitu pencernaan pada ruminansia dimulai
dari proses pengambilan makanan yang dilakukan secara prehensi yaitu makanan
diambil melalui mulut. Setelah makanan di kunyah (mastikasi), makanan masuk
melalui esophagus menuju ke lambung.Lambung ruminansia terdapat 4 bagian yaitu
rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Makanan di dalam rumen mengalami proses
fermentatif yang menghasilkan VFA, kemudian makanan masuk ke retikulum. Setelah
dari retikulum, makanan akan dimuntahkan kembali ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah
kembali (remastikasi). Kemudian makanan masuk ke omasum kemudian ke abomasum.
Setelah melalui abomasum, makanan masuk ke usus halus dimana terjadi proses
penyerapan sari-sari makanan. Dari usus halus makanan masuk ke usus besar.Di
usus besar terdapat kolon dan sekum.Di usus besar terjadi penyerapan air.Dari
usus besar makanan yang tidak dapat diserap atau sisa masuk ke rektum dan
menuju ke anus.
Kesimpulan dari
praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah susu yang dijadikan sampel pada
praktikum memiliki kualitas yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari uji
organoleptik yaitu susu memiliki warna, bau, kekentalan, dan rasa yang normal.
Selain itu dari hasil pengujian alkohol, uji didih dan uji reduktase
menunjukkan bahwa susu tidak mengalami kerusakan atau terkena mastitis.
Kesimpulan dari
praktikum adalah
pada pemeriksaan komposisi air susu dapat diketahui dari perhitungan kadar
berat jenis, pengukuran bahan kering, dan pengukuran kadar protein.
Kesimpulan dari
praktikum mikrobiologi susu adalah jumlah bakteri yang terdapat pada sampel
susu tersebut semakin banyak pada pengenceran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena pengenceran yang
dilakukan untuk mengurangi kepadatan mikroba pada sampel, sehingga mikroba
dapat dengan mudah dihitung.
Kesimpulan dari
praktikum diagnosa mastitis yaitu susu murni yang tidak mengandung mastitis
akan menghasilkan cairan susu yang normal, sedangkan susu yang telah rusak
akibat mastitis akan terdapat endapan pada uji CMT.
Kesimpulan dari
praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah susu yang telah dimasukkan
santan ataupun pati ke dalamnya akan menghasilkan butir-butir lemak nabati yang
lebih besar daripada butir lemak susu itu sendiri dan susu akan berwarna kuning
bila tidak terdapat pati di dalamnya.
5.2.
Saran
Saran untuk praktikum
kali ini yaitu alat dan bahan yang digunakan harus lengkap dan lebih banyak
sehingga semua praktikan dapat melakukan praktikum produksi ternak perah dengan
baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abubakar,
Triyantini, R. Sunarlim, H. Setiyanto, Dan Nurjannah. 2001. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pasteurisasi
Terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner .
Balai Penelitian Ternak. Vol. 6 No. 1.
Adnan, M.1984.
Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset. Yogyakarta.Direktorat
Kesehatan Hewan, 1977.Manual Kesmavet.No. 6/1977.Seri; Susu.
Allen D, Tilman. 2004. Pemeliharaan
Ternak Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Andriani. 2010. Penggunaan
Somatik Cell Count (SCC), Jumlah Bakteri dan California Mastitis Test (CMT)
untuk Deteksi Mastitis pada Kambing. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan
Februari, 2010, Vol. XIII, No. 5.
Anggraeni,
A., K. Diwiyanto, L. Praharni, A. Soleh dan C. Talib. 2001.Evaluasi mutu genetiksapi perah
induk FH didaerah sentra produksi susu. Prosiding Hasil Penelitian bagian proyek “Rekayasa Teknologi
Pertanian/ARMP II”. Bogor: Puslibangnak.
Arora, S. P.
1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh: Retno Murwani.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Asminaya,
Nur Santy. 2007. Penggunaan Ransum
Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar Untuk Produksi Dan Komposisi Susu Kambing
Perah.Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI
No. 7388:2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Susu Pasteurisasi. Bogor.
Bath, D.L., E.N.
Dickinson, H.A. Tucker dan R.D. Appleman. -1985. Dairy Cattle :
Principles,Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia.
Boilman. 2008. Gizi Kuliner I. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Brody. 2002. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.
Chutikul, K
.1975 . Ruminant (Buffalo) Nutrition, in The Asiatic Water Buffalo, Proceeding
of an International Syimposium heald at khon kaen . Thailand, March 31 - April
6 .Food and Fertilizer Tecnology Centre, Taipei, Taiwan.
Cole, H .H .1962
.Introduction to livestock Production, W .H. Freeman and Co, San Fransisco.
Deman. 2007. Gizi
Kuliner I. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Djaafar T. F.
and R. Siti. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang
Ditimbulkan dan Pencegahannya. http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3262073.pdf.
Diakses 10 November 2016.
Dwitania
DC dan Swacita IBN. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan
yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. J Veteriner 2(4) : 437- 444.
E. Purbowati,
Lestari, C. M. S., E. Rianto, W.S. Dilaga,.dan R. Adiwinarti. 2014. Bobot dan
Panjang Saluran Pencernaan Sapi Jawa dan Sapi Peranakan Ongole diBrebes. Jurnal
Peternakan Indonesia.Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.
Ekawati, Evy Ratnasari. 2014. Uji Perbedaan Kadar
Laktosa Pada Susu Sapi Fries Holland Dan Susu Kambing Etawa Di Kec.
Ampelgading, Kab. Malang.Sidoarjo : Prodi Analis Kesehatan-Fikes-Univ.Maarif
Hasyim Latif Sidoarjo.
Fardiaz, S.
1989. Petunjuk laboratorium analisis mikrobiologi pangan. PAU Pangan dan Gizi:
Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1.PT Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.
320 hlm.
Frandson,R. D.
1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak.Edisi ke-3. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: B. Srigandonob & K.
Praseno).600-609Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Frandson. 2002 . Pangan
dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Raja. Jakarta.
Friendhsman. P. 2000. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.
Gaman, P.M., dan
K.B. Sherrington. 1981. The Science of Food, An Introduction to Food Science,
Nutrition, and Microbiology. Terjemahan oleh Murdjati Gardjito, Sri naruki,
Agnes Murdiati, dan Sarjono. Edisi kedua.1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi
dan Mikrobiologi.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Gustiani,
E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan
susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian, 28
(3):96-100.
Habibah dan
Kadhafi M. 2011.Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Penyimpanan Susu Pasteurisasi
Pada Suhu Rendah.Agroscientiae.Vol. 18 No. 3.
Hariyadi,
P. 2000. Dasar dasar Teori dan Praktek Proses Termal.Pusat Studi Pangan dan
Gizi IPB. Bogor.
Iis Istidamah.
2006. Studi Perbandingan Fisio Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba
Lokal (Thesis). Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakutas Peternakan,
IPB.Junqueira, LC. dan J. Carneiro. 1982. Histologi Dasar. Alih Bahasa Adji
Dharma. 1990. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal.123-132.
Kamra, D. N.
2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Science, Vol. 89, No 1.
Kaunang,
C.L. 2004. Respon Ruminan Terhadap Pemberian Hijauan Pakan Yang Dipupuk Air
Belerang.Disertasi. Program Studi Ilmu Ternak, IPB Bogor. OH . H .K .
Longhurst, W .M .and Jones, M .B . 1969, Reaction Nitrogen intake to Rumen
Microba Activity and Consumption Quality Roughoge by sheep . Animal Sci, 28 :
272.
Lingathurai, S, Vellathurai, P, Vendan,
S. E, and Anand, A. A. P. 2009. A comparative study on the microbiological and
chemical composition of cow milk from different locations in Madurai, Tamil
Nadu.Indian Journal of Science and Technology. Vol.2 No 2 (Feb. 2009):51-54.
ISSN: 0974- 6846. India.
Manik, E. (2006). Olahan Susu. Jakarta :
Pusat Unit Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.Millogo, V, Sjaunja, K. S, Ouedraogo, G.
A dan Agenas, S. 2010. Raw milk hygiene at farms processing units and local markets
in Burkina Faso. Food Control 21 (2010):1070-1074.
Mastuti, Rini.
2007. Kandungan Bakteri Susu Pasteurisasi
Dalam Kemasan Plastik Yang Beredar Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Dan
Teknologi Hasil Ternak. Issn : 1978 – 0303. Vol. 2, No. 2.
Nababan M., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2014.Ketahanan
Susu Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Tingkat Keasaman,
Didih, dan Waktu Reduktase. J Veteriner 3(4) : 274-282.
Nababan M., I
Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2015. Kualitas Susu Segar pada
Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Alkohol, Derajat Keasaman dan Angka
Katalase.
J Veteriner 4(4) : 374-382.
Nadia, Meisya. 2011.Strategi Pemasaran di Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor. Skripsi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nana. 2002. Macam – Macam Olahan Susu. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta.
Nersser. 2005.Ransum
Ternak Ruminansia. Penebar swadaya. Bogor.
Penn. 2001. Dairy
Cattle and Milk Production.The Macmillan Company.
Pradlee, Jorgea,
et al,. 2011. Somatic Cell Count and Californi Mastitis Test as a
Diagnostic Tool for Subclinical Mastitis in Ewes. Acta Scientiae
Veterinariae, 2012. 40(2): 1038.
Puspitasari FD,
Shovitri M, Kuswytasari ND. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Aerob
Proteolitik dari Tangki Septik. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1(1)
Rahmadi, Didiek.
Sunarso.Achmad, Joelal. Pangestu, Eko. 2003. Nutrisi dan Makanan Ternak. Universitas
Diponegoro. Semarang. Vol 4.
Ranjhan, S .K.
and Pathak, N.N. 1979 . Management and Feeding of Buffalo, Vikas Publ House
put, New Delhi.
Rumessen, JJ.,
DK. Alban, M. Severine, B. Florence, N. Schiffmann. 2001. Interstitial Cells of
Gajal in the Striated Musculare of the Mouse Esophagus. Springer-Verlag.
Reguler Article.
Saleh,
E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi
Ternak. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Saleh, E. 2004.Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi
Ternak. Sumatera Utara: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Sanam AB,
Swacita IBN, Agustina KK. 2014. Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah
Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol. J
Veteriner 3(1) : 1-8.Sari, M, Swacita IBN, Agustina KK. 2013. Kualitas Susu
Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan
Angka Katalase. J Veteriner 2(2) : 202-207.
Sarwono, B., dan
Ariyanto, N.B., 2005. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004.
Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana, Denpasar.
Suardana, IW., dan I.B.N Swacita, 2009.
Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar.Udayana University Press.ISBN
978-979-8286-76-6.
Subronto.
2003. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugiyono. 2002.Ensiklopedia
Biology. Ghalia Putra Indonesia. Jakarta.
Suhardi.
2013. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah
Akibat Substitusi Rumput Gajah Dengan Jerami Padi+NaOH. Universitas
Boyolali.Politeknisains VOL 6. No. 2.
Sukandar D,
Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya A. 2010. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi.BPPT Jakarta. Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (333-339) ISSN : 1978 –
8193.
Sukarni.2006.
Produksi Dan Komposisi Air Susu Kambing
Peranakan Etawah Yang Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi.
Universitas Udayana, Denpasar.
Sumudhita,
M.W. 1989. Air Susu dan Penanganannya
Hal; 1-45. Denpasar: Program Studi Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas
Peternakan Universitas Udayana.
Sutrisna DY, Suada IK, Sampurna IP.
2014. Kualitas Susu Kambing Selama Penyimpanan pada Suhu Ruang Berdasarkan
Berat Jenis, Uji Didih, dan Kekentalan. J Veteriner 3 (1) : 60-67.
Utami, Sri. 2012. Kajian Berat Jenis dan Total Solid Susu Kambing Saanen, Jawa Randu, dan
Peranakan Etawa.Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.
Walstra, P., G.
T. J. Noomen, A. Jellema and M. A. J. S. van Boekel. 1999. Dairy technology:
Principles of milk properties and 9 process. Marcel Dekker Inc., New York.
Waluyo. 2004. Macam
– Macam Olahan Susu. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Wibowo,
Puguh Arif. 2013. Kajian Total Solid (TS)
Dan Solid Non Fat (SNF) Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Pada Satu Periode
Laktasi.Skripsi.Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Yulistiani, R.,
Ulya S. dan Veronika I. K. 2007. Tingkat Keamanan Susu Berlabel Pasteurisasi Di
Wilayah Surabaya Selama Masa Penyimpanan Pada Suhu Refrigerator. Jurnal
Teknologi Dan Industri Pangan, 11-21.
Zakaria Y, Helmy, MY dan Safara Y.
2011.Analisis Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah yang Disterilkan pada Suhu
dan Waktu yang Berbeda. J Agripet 11 (1): 29-31.
Zurriyati, et al. 2011.Analisis
molekuler genotipe kappa kasein (κ-kasein) dan komposisi susu kambing Peranakan
Etawah, Saanen dan Persilangannya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusbosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~