BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sinkronisasi atau penyerentakan estrus pada ternak
merupakan suatu upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan, karena
dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan, perkawinan,
kelahiran dan pemasaran (Adiwinarti, 1989 ; Odde, 1990 ; Sutama dkk., 1998). Selain
itu, sinkronisasi estrus merupakan bagian yang terpenting untuk menunjang
keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (Sutama dkk., 1998).
Senyawa kimia yang umum digunakan untuk sinkronisasi
estrus antara lain PGF2α (Kusumawati, 1994 ; Gustari dkk., 1996) dan
hormon progesteron (Sutama dkk., 1998); sedangkan secara biologis misalnya,
kehadiran pejantan secara mendadak dapat menstimulasi timbulnya estrus pada
betina yang sebelumnya diisolasi dalam waktu tertentu (Knight, 1983 dalam
Sutama dkk., 1998).
Superovulasi merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan. Jumlah korpus luteum sangat
erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik
seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk, 1992; Kleeman et
al., 1994; Manalu et al., 2000).
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
tampilan reproduksi kambing betina local yang diinduksi birahinya dengan system
sinkronisasi singkat ?
2. Apa
saja hormon dan bahan kimia sintetis yang digunakan dalam sinkronisasi estrus
pada ternak kambing ?
3. Bagaimana
Pertumbuhan Prenatal
dalam Kandungan Kambing Melalui Superovulasi ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui tampilan reproduksi kambing betina
local yang diinduksi birahinya dengan system sinkronisasi singkat.
2. Untuk mengetahui hormon dan bahan kimia
sintetis yang digunakan dalam sinkronisasi estrus pada ternak kambing.
3. Untuk mengetahui pertumbuhan prenatal dalam
kandungan kambing melalui superovulasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Sinkronisasi atau penyerentakan estrus pada ternak
merupakan suatu upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan, karena
dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan, perkawinan,
kelahiran dan pemasaran (Adiwinarti, 1989 ; Odde, 1990 ; Sutama dkk., 1998).
Selain itu, sinkronisasi estrus merupakan bagian yang terpenting untuk
menunjang keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (Sutama dkk.,
1998).
Tanda- tanda berahi yang terlihat sesuai dengan
pernyataan Murtidjo et al,. (1993), bahwa pada waktu berahi yang
terlihat kambing betina menunjukkan tandatanda gelisah, ekor diangkat dan
digoyanggoyangkan, berusaha mendekati kambing jantan, mengembik, vulva bengkak
dan berwarna kemerahan, lembab dan bila diraba terasa hangat serta mengeluarkan
cairan (lendir) yang jernih. Respon kambing local terhadap metode pemberian PGF2α
dapat menyebabkan regresinya korpus luteu fungsional dan memungkinkan
dimulainya siklus yang baru, yang dinyatakan dalam bentuk timbulnya berahi.
Senyawa kimia yang umum digunakan untuk sinkronisasi
estrus antara lain PGF2α (Kusumawati, 1994 ; Gustari dkk., 1996) dan
hormon progesteron (Sutama dkk., 1998); sedangkan secara biologis misalnya,
kehadiran pejantan secara mendadak dapat menstimulasi timbulnya estrus pada betina
yang sebelumnya diisolasi dalam waktu tertentu (Knight, 1983 dalam Sutama dkk.,
1998).
Alternative lain
dilaporkan bahwa dengan menggunakan teknik laserpunktur, Adikara (1992) dalam
Guntoro, dkk (1999) telah berhasil menyerentakkan estrus pada kambing. Guntoro
dkk. (1999) dan Guntoro dkk. (2000) melaporkan bahwa rangsangan estrus pada
kambing yang dilakukan pada 22 titik akupuntur reproduksi dengan sinar laser
berkekuatan 20 KHz masing-masing selama 5 detik, memunculkan gejala estrus
berturut-turut 100% dan 92.10% setelah dikawinkan menghasilkan tingkat konsepsi
sebesar 71.42% dengan angka kelahiran rata-rata 2 ekor.
Menurut penelitian Nuti et al., (1992) semua
kambing (100%) menunjukkan berahi setelah pemberian PGF2α pada hari
ke-12 setelah berahi akibat pemberian PGF2α yang pertama. Demikian
juga dengan penelitian Perera et al. yang disitasi oleh Devendra dan Burns
(1994) di Srilangka mendapatkan hasil 5 dari 6 ekor kambing berahi, setelah
diinjeksi dengan cloprostenol (analog PGF2α sintesis) secara ganda
dengan dosis 125 μg dengan interval waktu 10 hari. Injeksi awal prostaglandin F2α
akan menyebabkan kambing mencapai fase pertengahan luteal dari siklus berahi.
Injeksi kedua akan efektif mempersingkat masa hidup korpus luteum dengan cara melisisnya
(Hunter, 1995). PGF2α efektif dalam meregresi korpus luteum fungsional tidak
pada korpus luteum yang sedang tumbuh (Partodihardjo, 1992).
Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α disebabkan
karena lisisnya korpus luteum oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga
aliran darah menuju korpus luteum menurun secara drastis (Toelihere, 1981).
Akibatnya, kadar progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan menurun di
dalam darah. Penurunan kadar progesteron akan merangsang hipofisis anterior
menghasilkan dan melepaskan follicle stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini bertanggung jawab
dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan
pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon
estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi (Hafez, 1993).
Cara lain untuk sinkronisasi estrus pada ruminansia
adalah dengan pemakaian progesterone - Controlled Internal Drug Release (CIDR-b
pada sapi dan CIDR-g pada kambing dan domba). Cara tersebut telah terbukti
efektif untuk mengontrol siklus estrus pada spesies ruminansia (Carlson et
al., 1989; Wheaton et al., 1993; Junaidi dan Norman, 2005). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh (SKT) mempengaruhi efektivitas CIDR.
Sebagai contoh, penggunaan CIDR-b tidak efektif untuk induksi lonjakan luteinizing
hormone (LH) dan ovulasi pada postpartum sapi dengan SKT kurus
(Nation et al., 2000). Sinkronisasi estrus dengan CIDR selama 10 hari
plus injeksi PGF2α 2 hari sebelum pencabutan CIDR, efektif untuk
menginduksi estrus dan ovulasi pada kambing feral (Junaidi dan Norman, 2005).
Faktor nutrisi sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas, fertilitas yang baik
tercapai pada SKT ideal, sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada kambing
dengan SKT kurus (Rhind dan McNeilly, 1986).
Berbagai jenis bahan kimia sintetis yang dapat dipergunakan
untuk sinkronisasi pada kambing, namun yang paling umum dipakai adalah bahan
yang mengandung progesteron seperti “Medroxy Progesterone Acetate” (MAP)
atau Fluogestone Acetate (FGA). Namun semua bahan sinkronisasi tersebut
relatif mahal dan aplikasinya pada ternak membutuhkan waktu yang cukup lama
yaitu sekitar 14 hari. Kadar hormon progesteron yang tinggi dalam darah selama
perlakuan progestagen akan menekan pelepasan FSH dan LH dari kelenjar hipofise
anterior sehingga pertumbuhan folikel ovari terhambat. Penghentian perlakuan
progestagen secara mendadak mengakibatkan folikel tumbuh berkembang dan produksi
estrogen meningkat sehingga ternak menunjukkan tanda-tanda birahi (Wodziscka-Tomaszeswka
et al., 1991).
Sinkronisasi birahi sering diikuti dengan penggunaan
hormon PMSG yang dapat meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Artiningsih et
al., 1996), sebagai akibat dari meningkatnya jumlah ovum yang diovulasikan.
Hal ini selanjutnya juga diikuti dengan peningkatan kadar hormon progesteron,
yang diketahui mempunyai peranan penting atas suksesnya kebuntingan (Manalu dan
Sumaryadi, 1995). Hormon progesteron terutama dihasilkan oleh corpus luteum (CL)
selama fase luteal dan selama masa kebuntingan (Reimers, 1982) dan juga oleh
plasenta (Sheldrick et al., 1980). Sampai batas tertentu, makin tinggi
jumlah CL maka makin tinggi pula hormone progesteron yang dihasilkan, walaupun
hal ini masih sangat bervariasi antar breed, dan mungkin antar individu
ternak. Hormon progesteron ini juga diketahui mempunyai hubungan positif dengan
produksi susu (Subhagiana, 1998), dan akhirnya terhadap pertumbuhan anak pasca
lahir.
Perlakuan sinkronisasi pada induk diharapkan berpengaruh
tidak langsung pada pertumbuhan fetus melalui perbedaan produksi hormon
progesteron, pertumbuhan dan perkembangan uterus, dan produksi susu uterus.
Superovulasi adalah
suatu prosedur pemberian hormone pada ternak betina sehingga menghasilkan
beberapa oosit atau sel telur, dimana secara normal hanya dihasilkan satu oosit
pada setiap estrus. Pada domba, kambing atau sapi ratarata diperoleh 12 ovulasi
setelah induksi superovulasi. Tujuan utama superovulasi adalah untuk meningkatkan
jumlah oosit yang dilepaskan dan jumlah embrio yang potensial. Hormon yang biasa
digunakan untuk merangsang pertumbuhan folikel dan ovulasi adalah pregnant
mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH).
Target organ superovulasi adalah ovarium dimana terdapat folikel
yang didalamnya mengandung oosit.
Pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) merupakan
hormon yang secara luas telah dipergunakan dalam program superovulasi dan
transfer embrio pada ternak ruminansia. Hormon ini mempunyai aktivitas biologis
menyerupai follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
dengan masa paruh yang panjang sehingga cukup diberikan dalam dosis tunggal.
Superovulasi merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan. Jumlah
korpus luteum sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan
dan hormone mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan
(Dziuk, 1992; Kleeman et al., 1994; Manalu et al., 2000a).
Peningkatan sekresi hormone mammogenik
selain untuk mempertahankan dan memelihara kebuntingan, juga berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan dan perkambangan uterus, plasenta serta kelenjar ambing (Anderson et
al., 1981; Manalu dan Sumaryadi, 1998). Pada awal kebuntingan hormon-hormon
ini merupakan sinyal pembuka yang penting bagi diferensi embrio dalam kandunga sehingga
mampu memacu perkambangan prenatal, yang kemungkinan akan terbawa sampai sampai
pada periode postnatal (Ashword, 1991). Estrogen dan progesteron telah terbukti
dapat meningkatkan pertumbuhan fetus, dan bobot lahir, meskipun pada jumlah
anak per kelahiran lebih dari satu (Manalu dan Sumaryadi, 1998).
Induk kambing superovulasi melahirkan anak dengan
bobot lahir dan bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang
dilahirkan oleh induk kambing nirsuperovulasi, sehingga anak kambing memiliki
daya tahan hidup yang lebih tinggi pula. Di lain pihak, Sutama et al.
(1993) melaporkan bahwa salah satu penyebab tingginya mortalitas anak yang
dilahirkan adalah rendahnya bobot lahir, semakin banyak jumlah anak per
kelahiran semakin tinggi pula tingkat mortalitas.
Untuk menggalang
petumbuhan fetus dan embrio dalam
kandungan bisa dilakukan dengan
melakukan superovulasi, tanpa menggunakan teknologi yang canggih dan mahal,
yaitu dengan
perangsangan sekresi endogen hormon kebuntingan (estradiol dan progesteron)
melalui superovulasi. Superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus
luteum, sehingga merangsang peningkatan sekresi endogen hormone kebuntingan
dalam darah induk (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000b; Manalu et al. 2000c), yang berperan
dalam meningkatkan
pertumbuhan uterus, embrio dan fetus,
perkembangan plasenta dan kelenjar
ambing (Manalu at al. 2000a), secara keseluruhan menentukan keberhasilan
induk dalam
proses reproduksi.
Peningkatan jumlah korpus luteum karena superovulasi
sebelum perkawinan dengan menggunakan PMSG mendapat respons yang baik dari
kambing, dibuktikan dengan terjadi peningkatan jumlah ovum yang diovulasikan
dan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Hal yang sama juga dilaporkan Manalu et
al. (1999) bahwa superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus luteum pada
domba. Hormon PMSG memiliki aktivitas ganda yang mirip dengan FSH dan LH yang
dapat merangsang pertumbuhan folikel, menunjang sintesis estradiol, merangsang
proses ovulasi, dan luteinisasi (Armstrong et al. 1982; Piper &
Bindon 1984; Gonzalez et al. 1994), sehingga ovum yang diovulasikan
lebih banyak (Hafez 1980; Guiltbault et al. 1992; Bo et al. 1998).
Peningkatan progesteron terjadi karena meningkatnya jumlah korpus luteum yang
dihasilkan pada induk yang disuperovulasi sebelum perkawinan baik pada induk
beranak tunggal maupun induk beranak kembar dibandingkan dengan induk kambing
yang tidak disuperovulasi (Tabel 1). Dengan semakin banyak dan matangnya
sel-sel lutein pada korpus luteum maka aktivitas sintesis progesteron dan
sekresi progesteron meningkat. Korpus luteum pada kambing merupakan organ utama
penghasil progesteron (Nalbandov 1976; Reeves 1987). Progesteron berfungsi
merangsang uterus mempersiapkan implantasi zigot untuk memelihara fetus selama kebuntingan
(McDonald 1980; Stabendfelt & Edqvist 1993; Manalu et al. 1996).
Estradiol dan progesteron dapat memodulasi ekspresi sejumlah
protein (Wheeler et al. 1987) dan faktor pertumbuhan yang selanjutnya
memelihara hubungan antara embrio dan uterus, memandu pertumbuhan embrio
menjadi fetus. Pemberian progesteron pada awal kebuntingan pada domba menghasilkan
perbaikan pertumbuhan fetus (Kleemann et al. 1994), sementara penambahan
estradiol pada babi dapat meningkatkan sistem pembuluh darah kapiler uterus
(Keys & King 1995). Superovulasi sudah diketahui meningkatkan sekresi endogen
hormon kebuntingan terutama estradiol dan progesteron sehingga meningkatkan
bobot fetus yang tergambar dari bobot lahir anak. Peningkatan jumlah anak
sekelahiran pada induk yang disuperovulasi sebelum perkawinan juga diikuti
dengan peningkatan bobot lahir anak baik pada induk beranak tunggal
maupun
induk beranak kembar dibandingkan dengan induk yang tidak disuperovulasi. Ini
merupakan gambaran pertumbuhan prenatal karena terjadinya peningkatan sekresi endogen
hormon kebuntingan terutama estradiol dan progesteron yang merangsang
pertumbuhan prenatal di dalam kandungan. Jumlah anak sekelahiran seekor ternak
bergantung pada jumlah ovum yang diovulasikan, pembuahan dan kemampuan hidup
embrio (Hulet & Shelton 1987; Rasby et al. 1990). Peningkatan
produksi susu karena superovulasi sebelum perkawinan terjadi karena peningkatan
jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan dan peningkatan
aktivitas sintesisnya selama laktasi. Hal ini bermanfaat untuk menunjang
kebutuhan susu anak sebelum disapih. Superovulasi pada domba dapat meningkatkan
produksi susu sampai 59% (Manalu et al. 2000c). Superovulasi sebelum
perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron, yang dapat memacu pertumbuhan
prenatal anak dalam kandungan. Peningkatan sekresi estradiol dan progesteron
juga dapat meningkatkan jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing yang
terbentuk dan aktivitas sistesisnya. Hal ini dapat meningkatkan produksi susu
baik pada induk kambing beranak tunggal maupun pada induk kambing beranak
kembar.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan pada makalah ini adalah
sinkronisasi estrus merupakan suatu cara untuk menyerentakkan siklus estrus
pada ternak betina dengan upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan,
karena dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan,
perkawinan, kelahiran dan pemasaran. Sedangkan superovulasi
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang
dihasilkan. Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi
hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron
selama kebuntingan
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinarti, R.
1989. Upaya peningkatan populasi ternak dengan pengendalian dan penyerentakan
siklus birahi. Prosiding seminar pengawasan penyakit, bogor 4 desember 1989.
Hal : 178-185.
Anderson, R.R.,
J.R. Harness, A.F. Sinead, and M.S. Salah. 1981. Mammary glang growth pattern
in goats during pregnancy and lactation. J. Dairy Sci. 64 : 427 – 432.
Armstrong DT et
al. 1982. Ovarian responses of anoestrus goats to stimulation with pregnant
mare serum gonadotrophin. Anim Reprod Sci 5:15-23.
Artiningsih, N.
M., B. Purwantara, R. K.Chjadi, Dan I-K. Sutama. 1996. Pengaruh penyuntikan
Pregnant Mare Serum Gonadotrophin terhadap kelahiran kembar pada kambing
Peranakan Etawah. JITV 2(1): 11 - 16.
Ashworth, C.J.
1991. Effect of pre-mating nutritional status and post-mating progesterone
supplementation on embryo survival and conceptus growth in gilts. Anim. Reprod.
Sci. 26 : 311 – 321.
Bo GA, Tribulo
H, Caccia M, Tribullo R. 1998. Superovulatory response of beef heifers treated
with estradiol benzoate, progesterone and CIDR-B vaginal device. Theriogenology
49:375.
Carlson KM, Pohl
HA, Marcek JM, Muser RK, and Wheaton JE. 1989. Evaluation of progesterone
controlled internal drug release dispensers for synchronization of estrus in
sheep. Anim. Reprod. Sci. 18: 205–218.
Davendra C,
Burns M. 1994. Goat Production in the Tropic. Common Wealth. Agriculture
Bureaux. Farnham Royal, England.
Dziuk, P.J.
1992. Embryonic development and fetal growth. Anim. Reprod. Sci. 28 : 299 –
308.
Gonzalez A, Wang
H, Carruthers TD, Murphy BD, Mafletoft RJ. 1994. Superovulation in the cow with
pregnant mare serum gonadotrophin serum. Canad Veterin J 35:158-162.
Guiltbault LA,
Lussier JG, Grasso F. 1992. Interrelationship of hormonal and ovarian responses
in supperovulated response heifers pretreated with FSH-P at the beginning of
the estrous cycle. Theriogenology 37:1027-1040.
Guntoro,
S., I.M. Rai Yasa., I.A Parwati., D.M. Rai Puspa dan Sriyanto. 2000. Laporan
Akhir Penelitian Adaptif Superovulasi pada Kambing dengan Laserpunktur.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali, Denpasar.
Guntoro,
S., I.M. Rai Yasa., Sriyanto., I.M. Londra dan D. M. Rai Puspa. 2001. Laporan
Akhir System Usahatani Kambing dengan Tanaman Industry. Balai Pengkajian dan
Teknologi Pertanian, Bali, Denpasar.
Guntoro,
S., N. Suyasa. Dan I.A. Parwati. 1999. Laporan Akhir Penelitian Adaptif
Superovulasi pada Kambing dengan Laserpunktur. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian, Denpasar.
Gustari, S., A.
Kusumawati., S. Subagyo dan P.P. Putro. 1996. Pemberian Prostaglandin Intra
Uterin Untuk Induksi Estrus Pada Kambing PE. Bull. FKH Univ. Gajah Mada. Vol.
XV (1) : 1-8.
Hafez ESE. 1980.
Reproductive In Farm Animal. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger
Hafez ESE. 1993.
Semen evaluation. In Hafez ESE. (Ed): Reproduction in farm animals.
Philadelphia. Lea and Febiger.
Hulet CV,
Shelton M. 1987. Sheep and goats. In: Hafez ESE (ed). Reproduction in Farm
Animals. 5th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. p 346-357.
Hunter RHF.
1995. Fisiologi Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Terjemahan
D. K. Harya Putra. Bandung Penerbit ITB.
Junaidi A and
Norman ST. 2005. Comparison of different superovulatory protocols in
feral goats. Reproductive Biotechnology For Improved Animal Breeding In
Southeast Asia. Proc. International Asia Link Symposium. 19-20 August: 119-
121.
Keys JL, King
GL. 1995. Morphology of pig uterine sub epithelial capillaries after topical
and systemic estrogen treatment. J Reprod Fert 105:287-294.
Kleeman, D.O.,
S.K. Walker, and R.F. Seamark. 1994. Enhance fetal growth in sheep administered
The Effect of Superovulation and Dietary Zinc in Does (Adriani et al.) 183
progesterone during the first three days of pregnancy. J. Reprod. Fert. 102 :
411 – 417.
Kusumawati, A.
1994. Pengaruh Sinkronisasi Estrus Terhadap Angka Konsepsi Kambing Peranakan
Etawah (PE). Laporan Penelitian FKH. UGM. Yogyakarta.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Kusumorini N. 1996. Effect of fetal number on the concentrations
of circulating maternal serum progesterone and estradiol of does during late
pregnancy. Small Rumin Res 23:117-124.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of superovulation on
maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal weights at weeks 7
and 15 of pregnancy in Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin Res 30:171-176.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential
growth during pregnancy in superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Small
Rumin Res 33:279- 284.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Mammary gland indices at
the end of lactation in the superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Asian-Aust
J Anim Sci 13:440-445.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000b. The effect of
superovulation of Javanese Thin-Tail ewes prior to mating on lamb birth weight
and prewearning growth. Asian-Aust J Anim Sci 13:292-299.
Manalu W,
Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000c. Effect of superovulation
prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J
Dairy Sci 83:477-484.
Manalu, W. dan
M. Sumaryadi. 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam
serum induk selama kebuntingan dengan total mass fetus pada akhir kebuntingan.
Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Ciawi Bogor, pp.:57-62.
McDonald LE.
1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia:
Lea & Febiger.
Murtijdo BA.
1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta. Kanisius.
Nalbandov AV.
1976. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. San Francisco: W.H.
Freeman & Company.
Nation DP, Burke
CR, Parton G, Stevenson R, and Macmillan KL. 2000. Hormonal an ovarian
responses to a 5-day progesterone treatment in anestrous dairy cows in the
third week postpartum. Anim. Reprod. Sci. 63:13–25.
Nuti L.J,
Bretzlaff KN,. Elmore RG, Meyers SA, Regsla JN, Brinslev SP, Blahohard TL,
Weston PG. 1992. Synchronnization of estrus in dairy goat treated with PGF2á
various stages of the oestrus cycle. Am J Vet Res 52:934-937
Odde, K.G. 1990.
A Review Of Synchronization Of Estrous In Postpartum Cattle. J. Anim Sci. 68:
817-830.
Partodihardjo S.
1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta. Penerbit Mutiara.
Piper LR, Bindon
BM. 1984. Ovulation rate as selection criterion for improving litter size in
Merino sheep. In: Lindsay DL, Pearce DT (eds). Reproduction in Sheep.
Cambridge: Cambridge Univ. p 237- 239.
Rasby RJ,
Wettermann RP, Geirsert RD, Rice LE, Wallace CR. 1990. Nutrition, body
condition and reproduction in beef cows: fetal and placental development,
estrogen and progesterone in plasma. J Anim Sci 68:4267-4276.
Reeves JJ. 1987.
Endocrinology of reproduction. In: Hafez ESE (ed). Reproduction in Farm
Animals. 5th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. p 114-129.
Reimers, T. J.
1982. Milk progesterone for evaluating reproductive status. NYS College of Vet.
Med. Cornell University, Ithaca, NY.
Rhind SM, and
McNelly AS. 1986. Follicle populations, ovulation rate and plasma profile LH,
FSH and prolactin in Scottish Blackface ewes in high and low levels on body
condition. J. Anim. Reprod. Sci. 10: 105-115.
Sheldrich, E.
L., A. P. Ricketts And A. P. F. Flint. 1980. Placenta production of
progesterone ovariectomized goat treated with a synthesis progestagen to
maintain pregnancy. J. Reprod. Fert. 60: 339-348.
Stabenfelt GH,
Edqvist L. 1993. Female Reproductive in Dikes. Physiology of Domestic
Animal. 11th ed. London: M.J. Swenson & W.O. Reece, Comstock Publ ASS
Cornel Univ London.
Subhagiana, I.
W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan,
bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi
susu yang berbeda. Thesis Program Pascasarjana IPB Bogor.
Sutama, I.K.,
I.W. Mathius., Supriyati., I.G.M. Budiarsana., U. Adiati., R.S.G. Sianturi,
Hestono dan T.D. Chaniago. 1998. Sinkronisasi Birahi Secara Hormonal Dan
Biologis Pada Kambing Peranakan Ettawah. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian
Peternakan APBN TA. 1990-1997. Buku II Penelitian Ternak Ruminansia Kecil.
Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Hal : 111-119.
Sutama, IK, IG,
Putu, dan M.W. Tomaszewska. 1993. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia
kecil melalui sifat reproduksi yang lebih efisien. Dalam : Reproduksi Kambing
dan Domba di Indonesia (D.M. Tomaszewska, IM. Mastika, A. Djajanegara, S.
Gardiner, dan T.R. Wiradarya, Eds). Universitas Negeri Sebelas Maret Press,
Surakarta.
Toelihere MR.
1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung. Angkasa.
Wheaton JE,
Carlson KM, and Windels HFLJ. 1993. CIDR: a new progesterone releasing
intravaginal device for induction of estrus and cycle control in sheep and
goats. Anim. Reprod. Sci. 33: 127-141.
Wheeler C, Khom
B, Lyttle CR. 1987. Estrogen regulation of protein synthesis in the immature
rat uterus: the effects of progesterone on protein released into medium during in
vitro incubation. Endocrinology 120:919-923.
Wodziscka-Tomaszewska,
M, I. K. Sutama, I. G. Putu and T.D. Chaniago. 1991. Produksi Tingkah Laku dan
Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jenis permainan Sabung Ayam terdapat 3 jenis:
BalasHapus♣ Sabung Ayam S128
♣ Sabung Ayam SV388
♣ Kungfu Chicken
Untuk setiap permainan berbeda beda minimal bettingan nya..
Untuk minimal Deposit dan Withdraw adalah Rp 50.000 saja , yang cukup terjangkau.
Dengan Rp 50.000 saja sudah bisa menang kan sampai ratusan juta Rupiah, cukup menguntungkan bukan?
Tunggu apalagi? Segera daftar dirimu juga di www.bolavita.vip
Baca juga = Cara Daftar Sabung Ayam di BOLAVITA
Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
BBM : BOLAVITA / D8C363CA
Whatsapp : +62812-2222-995
Livechat 24 Jam
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000
add Whatshapp : +85515373217 ^_~
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusbosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~