Senin, 05 Maret 2018

LAPORAN SEMESTER PRODUKSI TERNAK PERAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ruminansia merupakan binatang berkuku genap sub ordo dari ordo Artiodactyla disebut juga mamalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Sistem pencernaan (tractus digestivus) ruminansia terdiri atas suatu saluran muskulo membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus.Fungsinya adalah memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat.Sistem pencernaan mengubah zat-zat hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana hingga dapat diserap dan digunakan sebagai energi, membangun senyawa-senyawa lain untuk kepentingan metabolisme.
Ternak perah adalah ternak yang secara genetik mampu menghasilkan susu melebihi kebutuhan anaknya, misalnya sapi, kerbau, kambing dan lain-lain. Ternak perah mempunyai ciri-ciri khusus yang berhubungan langsung dengan produksi susu.  Pada umumnya bentuk susu berupa cairan yang diproduksi oleh kelenjar ambing hewan mamalia betina dengan warna putih kekuning-kuningan yang tidak tembus cahaya, mempunyai rasa sedikit manis berasal dari laktosa dan bau yang khasberasal dari lemak susu, bersih, dan kosistensinya homogen tanpa ada bentuk gumpalan.
Susu merupakan bahan makanan alami dengan nilai nutrisi yang lengkap dan hasil dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing atau kelenjar mamae. Susu yang merupakan salah satu bahan makanan alami yang paling sempurna yang digunakan untuk bahan utama makanan yang sangat komplit.Susu adalah sumber makanan utama bagi semua hewan mamalia yang baru lahir dan dapat pula digunakan untuk kehidupan sehari hari.
Komposisi utama susu terdiri dari protein, lemak, laktosa dan mineral. Sedangkan perbandingan susu manusia denagan susu sapi berbeda dalam kandungan protein, laktosa dan mineral. Pada susu sapi kandungan protein dan whey adalah 4:1. 
Secara umum penelitian susu adalah salah satu diantaranya pemeriksaan kesegaran dari pada kesegaran susu tersebut seperti uji warna, apakah warna susu tersebut mempunyai warna yang sesuai dengan susu asli atau tidak, dan juga bau susu tersebut, kekentalannya dan juga rasa dari pada susu tersebut sehingga susu tersebut dapat di produksi tubuh dengan cara kontinu. Dan seharusnya komponen susu tersebut tidak dikurangi atau ditambah bahan-bahan lain sehingga mutu atau kualitas susu tersebut tetap terjaga.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat Pencernaan adalah untuk mengetahui bagian-bagian dari anatomi pencernaan pada ruminansia serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan tersebut.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu untuk mengetahui warna, bau, rasa, dan konsistensi air susu dengan menggunakan panca indera, untuk melihat kotoran yang terdapat di dalam air susu yang tidak terlihat oleh mata, untuk mengetahui kadar pH susu, untuk mengetahui kualitas susu tersebut baik atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol, uji didih, dan uji reduktase dengan biru metilen.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan komposisi air susuadalah untuk mengetahui dan memahami cara menghitung komposisi susu dengan pengukuran berat jenis, pengukuran kadar bahan kering, pengukuran kadar protein, dan untuk mengetahui jumlah mikroba yang terdapat di dalam susu.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah untuk membuktikan adanya penambahan santan pada susu secara mikroskopik, dan untuk membuktikan adanya penambahan pati pada susu.

1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat Pencernaan adalah praktikan dapat mengetahui bagian-bagian dari anatomi pencernaan pada ruminansia serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan tersebut.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu praktikan dapat mengetahui kualitas susu dengan berbagai cara seperti mengetahui warna, bau, rasa dan konsistensi dengan menggunakan panca indra, praktikan mengetahui dan dapat melihat kotoran yang terdapat didalam susu yang tidak terlihat oleh mata, mengetahui ph susu, serta praktikan mengetahui kualitas susu tersebut baik atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol, uji didih, dan uji reduktase dengan biru metilen.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah praktikan mengetahui dan memahami cara menghitung komposisi susu dengan pengukuran berat jenis, pengukuran kadar bahan kering, pengukuran kadar protein, dan mengetahui cara menghitung mikroba yang terdapat pada susu secara tidak langsung.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah praktikan mengetahui bagaimana cara memeriksa kualitas susu yang baik, dapat mengetahui ciri-ciri susu yang murni 100% tanpa bahan tambahan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Alat Pencernaan
2.1.1. Mulut
Bath dkk. (1985) menyatakan bahwa proses pencernaan pada ternak ruminansia dibagi menjadi 3 yaitu : 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi di dalam mulut .2 . Pencernaan Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan ternak itu sendiri .3. Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme rumen.
Frandson, (1993) menyatakan bahwa proses remastikasi terjadi secara lebih lambat dibandingkan mastikasi yaitu 55 kali per menit. Seekor domba rata-rata melakukan ruminasi selama delapan jam, walaupun aktivitas ini bisa dikendalikan sesuai kehendak,misalnya remastikasi pada saat pengeluaran bolus bergantung juga pada keadaan sekitar. Bolus yang terbentuk setelah regurgitasi dan pengunyahan akan dikeluarkan untuk diremastikasi. Material yang di regurgitasi biasanya terdiri atas hijauan dan cairan.Satu kali remastikasi biasanya berlangsung rata-rata satu menit.
Kaunang (2004) menyatakan bahwa pada proses pencernaan hewan ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba pada rumen dan secara hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan di abomasum. Proses memamah biak pada ujung anterior rumen didorong kembali melalui esophagus menuju mulut, kemudian cairan segera ditelan sementara materi padat kembali dikunyah dalam mulut sebelum dikembalikan ke dalam rumen. Mikroba alami yang terdapat dalam rumen melakukan fermentasi secara anaerobik.Mikroba tersebut mendegradasi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam bahan pakan termasuk selulosa dan hemiselulosa (polisakarida) menjadi senyawa-senyawa sederhana.
Rahmadi, dkk, (2003) menyatakan bahwa mastikasi disebut juga chewing, pakan seolah digerus antara geraham bawah dan geraham atas dengan frekuensi yang berbeda-beda tergantung pada jumlah pakan dan kondisi pakan. Jenis gigi, susunan rahang, dan kebiasaan mengunyah akan mempengaruhi variasi dari mastikasi. Tujuan mastikasi adalah memperkecil ukuran partikel pakan dan sekresi saliva.

2.1.2. Esophagus
Frandson, (1993) menyatakan bahwa esophagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju perut besar atau lambung, sedang makanan boleh jadi tidak mengalami perubahan sepanjang esophagus.Esophagus merupakan kelanjutan langsung dari farink, merupakan suatu saluran muskuler yang merentang dari farink menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma.

2.1.3. Lambung
Aurora (1989), menyatakan bahwa rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba . Isi rumen pada ternak ruminansia berkisar antara 10-15% dari berat badan ternak tersebut . Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup serta ditemukan di dalamnya .Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 32-42°C, pH dalam rumen kurang lebih tetap yaitu sekitar 6,8 dan adanya absorbsi asam lemak dan amonia berfungsi untuk mempertahankan pH.
Arora (1989), menyatakan bahwa bakteri merupakan mikroorganisme rumen yang dominan. Dilihat dari fungsinya, bakteri dalam rumen dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1) kelompok pencerna selulosa, (2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok pencerna pati, (4) kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6) kelompok pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik. Bakteri rumen telah beradaptasi untuk hidup pada kondisi fisik rumen relatif tetap yakni pH 5,5–7,0 dan dalam keadaan anaerob (ada oksigen, tetapi sangat sedikit), suhu 39–40OG, dan konsentrasi produk fermentasi kontinyu, walau tidak begitu tinggi.
Chuticul (1975) menyatakan bahwa rumen merupakan tempat pencernaan sebagian serat kasar serta proses fermentatif yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme, terutama bakteri anaerob dan protozoa.
Cole (1962) menyatakan bahwa ruminansia merupaka poligastrik yang mempunyai lambung depan yang terdiri dari Retikulum (perut jala), Rumen (perut handuk), Omasum (perut kitab), dan lambung sejati , yaitu Abomasum (perut kelenjar) . Proses pencernaan di dalam lambung depan terjadi secara mikrobial .Mikroba memegang peranan penting dalam pemecahan makanan. Sedangkan di dalam lambung sejati terjadi pencernaan enzimatik karena lambung ini mempunyai banyak kelenjar .
Kamra (2005) menyatakan bahwa proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi sangat intensif. Hal ini menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk yang lebih mudah diserap.Selain itu ternak ruminansia dapat juga memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dalam jumlah yang banyak.Ekosistem mikroba rumen sangat stabil dan dinamis. Pada ternak yang sehat kontaminasi ekosistem seolah tidak terjadi, pada kenyataannya jutaan mikroba dalam rumen banyak berasal dari pakan, air minum dan udara setiap harinya. Ekosistem rumen dinamis, ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan, mikroba rumen dapat beradaptasi dengan pakan tersebut. Hal ini terjadi karena mikroorganisme teradaptasi untuk terus hidup dalam rumen dan yang tidak mampu beradaptasi akan tereliminasi.
Oh dkk. (1969), menyatakan bahwa pencernaan fermentatif merupakan proses yang dapat meningkatkan pencernaan bahan makanan dalam rumen, karena pada ternak ruminansia pencemaan makanan sangat tergantung pada aktifitas mikroorganisme. Aktifitas mikroorganisme rumen dipengaruhi oleh kandungan zat-zat makanan dalam ransum.
Ranjhan dan Pathak (1979) menyatakan bahwa di dalam rumen karbohidrat komplek yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan adanya aktifitas fermentatif oleh mikroba akan dipecah menjadi asam atsiri, khususnya asam asetat, propionat dan butirat.
Sarwono dan Arianto (2005) menyatakan bahwa lambung ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu rumen (lambung pertama dengan kapasitas 100-230 liter pada sapi), retikulum (lambung ke dua atau perut jala), omasum (lambung ke tiga atau perut buku) dan abomasum (lambung keempat atau perut sejati).


2.1.4. Usus Halus
Frandson, (1993) menyatakan bahwa usus halus terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus.Saluran yang berasal dari hati dan saluran pancreas menyatu ke dalam duodenum pada jarak yang pendek di belakang pylorus.Jejenum dengan jelas dapat dipisahkan dengan duodenum.Jejenum bermuladari kira-kira pada posisi dimana mesenteri mulai kelihatan memanjang.Jejenum dan ileum bersambung dan tidak ada batas yang jelas diantaranya.Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum.
E. Purbowati et al, (2014) menyatakan bahwa fungsi usus halus adalah dalam penyerapan nutrisi, sedangkan usus besar adalah penyerapan air, sekresi beberapa mineral seperti kalsium, tempat penampungan pakan yang tidak tercerna, dan fermentasi oleh bakteri.

2.1.5. Usus Besar
Frandson, (1993) menyatakan bahwa usus besar terdiri atas secum yang merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang naik, mendatar, dan turun. Bagian turun akan berakhir di rectum dan anus.
Iis Istidamah (2006) menyatakan bahwa sekum merupakan suatu kantung buntu dan kolon yang terdiri atas bagian yang unik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan berakhir direktum dan anus. Usus buntuk bersama kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak terfermentasi di dalam rumen, pada ruminansia alat pencernaan itu jauh lebih besar.
Iis Istidamah (2006) menyatakan bahwa rektum sebagai saluran pendek, terdiri dari garis otot polos dengan membrane mukosa dan mempunyai lapisan serosa pada interior dan berakhir pada anus dan dubur.Rektum berfungsi untuk menyimpan feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan.
Junqueira dan Carneiro, (1982) ; Rumessen, et al., (2001), ditinjau dari struktur histologinya, usus besar saluran pencernaan tersusun atas : Tunika mukosa (lamina epitel, propria, dan muskularis mukosa), tunika submukosa (jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan saraf), Tunika muskularis (stratum sirkulare dan longitodinal), dan Tunika serosa.

2.2. Pemeriksaan Kesegaran Air Susu
2.2.1. Uji Sensorik atau Uji Organoleptik
Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara organoleptik susu akan mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa, dan aroma dari susu yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya aktifitas mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.
Adnan (1984) menyatakan bahwa Bacillus cereus dapat menghasilkan enzim untuk mencerna lapisan fosfolipid disekitar butir –butir lemak, dapat menyebabkan ketengikan pada susu.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011) menyatakan bahwa rasa asam diakibatkan dekomposisi komponen susu oleh mikroba yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat, sedangkan rasa pahit disebabkan oleh bakteri pembentuk pepton.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011)menyatakan bahwa susu pasteurisasi yang normal memiliki rasa yang lezat sedikit manis karena mengandung karbohidrat yaitu laktosa dan mempunyai aroma yang spesifik. Cita rasa susu berhubungan dengan keseimbangan antara rasa manis akibat kandungan laktosa tinggi dan rasa asin dari kadar klorida. Susu dengan kandungan laktosa rendah tetapi kadar klorida tinggi menyebabkan cita rasa susu menjadi asin.
Lingathuraiet al.(2009) menyatakan bahwa kualitas fisik dan kimia susu sapi segar dipengaruhi oleh factor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode laktasi.
Sanam dkk.(2014) menyatakan bahwa susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal selain susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh. Didalam kehidupan sehari-hari, sebagian kecil orang meminum susu segar. Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa mencium aroma susu segar (mentah). Pada waktu susu berada di dalam ambing ternak yang sehat atau beberapa saat setelah keluar, susu merupakan suatu bahan murni, higienis, bernilai gizi tinggi, mengandung sedikit bakteri yang berasal dari ambing, bau, rasa tidak berubah dan tidak berbahaya untuk diminum.

2.2.2. Uji Kebersihan dengan Metode Saring
Gustiani(2009) menyatakan bahwa kontaminasi bakteri dimulai setelah susu keluar dari ambing danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur susu yang lebih panjang.
Hariyadi(2000) menyatakan bahwa faktor penyebab kerusakan susu dapat meliputi faktor kimia, fisik, dan mikrobiologi. Namun kerusakan susu akibat pengaruh faktor mikrobiologi menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan susu. Hal ini diakibatkan karena susu sangat mudah tercemar oleh mikroba, baik pada waktu proses pemerahan maupun pengolahan, sehingga menjadikan masa simpan susu relatif singkat, yaitu hanya sekitar 5 (lima) jam apabila disimpan dalam suhu ruang.
Saleh(2004) menyatakan bahwa proses yang akan dilalui susu murni menjadi susu olahan harus sangat diperhatikan dengan baik, karena susu merupakan bahan higienis yang bernilai gizi tinggi dan apabila berada di luar dalam jangka waktu yang lama akan menjadikan kualitas susu menurun. Susu dapat tercemar oleh bakteri karena susu mengandung bahan-bahan yang diperlukan bakteri untuk hidup seperti protein, mineral, karbohidrat, lemak, dan vitamin dan apabila telah tercemar oleh bakteri maka secara otomatis susunan serta keadaan susu tersebut dapat berubah.
Zakaria dkk.(2011) menyatakan bahwa susu murni atau susu segar merupakan hasil dari proses pemerahan dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Nilai gizinya yang tinggi menyebabkan susu menjadi media yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi.


2.2.3. Pengukuran pH dengan pH meter
Manik(2006) menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme aktivitas enzimatik.
Suardana dan Swacita (2004) menyatakan bahwa apabila pH di bawah 6,5 kemungkinan susu tersebut telah rusak oleh bakteri, sedangkan pH lebih besar dari 6,7 menunjukkan adanya kelainan seperti mastitis. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Suardana dan Swacita(2009) menyatakan bahwa uji keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya susu segar mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi asam laktat oleh mikroba.

2.2.4. Uji Alkohol
Dirkeswan(1977) menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi.
Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Nababan et al. (2015) menyatakan bahwa uji alkohol pada susu cair yang disimpan pada suhu ruang dari jam ke – 0 sampai jam ke – 4 dari hari ke-1 sampai hari ke-8 hasilnya adalah negatif, sedangkan pada jam ke – 6 sampai jam ke – 8 dari hari ke-1 sampai hari ke-8 hasilnya adalah positif. Susu pecah menunjukkan bahwa telah terjadi krusakan dari air susu adalah tinggi. Uji alkohol berdasarkan kenaikan tingkat keasaman dari air susu karena perkembangbiakan bakteri, adalah untuk melengkapi penetapan dari kualitas air susu. Pecahnya susu disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri asam susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam laktat.

2.2.5. Uji Didih atau Uji Masak
Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwaprinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah.
Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa hasil uji didih negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi, hal ini dikarenakan susu masih dalam keadaan homogeny.
Sutrisna et al.(2014) menyatakan baha pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak dikonsumsi karena adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung dalam susu tinggi.

2.2.6. Uji Reduktase dengan Biru Metilen
Fardiaz (1989) menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu maka semakin cepat perubahan warna biru menjadi putih disebabkan karena keaktifan enzim reduktase yang dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene blue. Angka reduktase selain digunakan untuk memperkirakan jumlah mikroorganisme di dalam susu, juga dapat digunakan untuk menentukan kelas (grade) susu.
Nababan et al.(2014) menyatakan bahwa waktu reduktase susu yang normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi putih kembali menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu semakin sedikit.
Sari et al.(2013) menyatakan bahwa berubahnya warna biru metilen pada periode yang panjang atau pendek, berkaitan dengan jumlah bakteri.
Walstra et al. (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata reduktase susu pasteurisasi yaitu lebih dari 2 jam dan kurang dari 6 jam serta jumlah bakteri antara 4-20 juta/ml.
Yulistiani et al.(2007) menyatakan bahwa angka reduktase pada susu dapat dilihat dengan uji reduktase menggunakan methylene blue yang dapat memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri yang terdapat di dalam susu.

2.3. Pemeriksaan Komposisi Air Susu
2.3.1. Pengukuran Berat Jenis
Nadia (2011) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh total solid dan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu. Pengukuran berat jenis merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui adanya pemalsuan susu yang mengakibatkan penurunan kualitas susu.
Suhardi (2013) menyatakan bahwa pemberian makanan yang tidak cukup akan menurunkan produksi susu. Pemberian pakan yang cukup akan meningkatkan konsumsi pakan akan diikuti dengan kenaikan berat jenis susu.
Sukarni (2006) menyatakan bahwa berat jenis air susu juga sangat dipengaruhi oleh berat jenis dari komponen penyusun susu seperti protein, laktosa, dan mineral.
Utami (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat jenis susu akan semakin turun.
Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering pakan sehingga kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu.

2.3.2. Pengukuran Kadar Bahan Kering
Allen D, Tilman, (2004) menyatakan bahwa sampel susu ditimbang dahulu sebelum diletakkan didalam cawan khusus yang dipanaskan dengan menggunakan oven dengan temperature ± 1050C, sampel dipanaskan sampai sampel susu tersebut tidak lagi mengalami penurunan berat.
Asmaniya (2007) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang tinggi menyebabkan tersedianya substrat yang dibutuhkan untuk sintesis laktosa.Laktosa merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan galaktosa. Laktosa adalah karbohidrat utama dalam susu.
Saleh, (2004) menyatakan bahwa komposisi air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ternak dan keturunannya (hereditas), bulan laktasi, umur ternak, peradangan pada ambing, pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu. Lebih kentalnya susu dibandingkan air adalah karena banyaknya bahan kering yang terdapat didalamnya, seperti lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.
Wibowo (2013) menyatakan bahwa kandungan bahan kering susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.
Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa bahan kering (BK) adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein, laktosa dan abu.

2.3.3. Penentuan Kadar Protein
Anggraeni et al.(2001) menyatakan bahwa susu sapi perah merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena susu bernilai gizi tinggi dan mempunyai komposisi zat gizi lengkap dengan perbandingan gizi yang sempurna, sehingga mempunyai nilai yang sangat startegis.
Ekawati(2014) menyatakan bahwa protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan akan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu.
Sumudhita(1989) menyatakan bahwa susu merupakan sumber energi karena mengandung laktosa dan lemak, sumber zat pembangun karena mengandung protein dan mineral serta sebagai bahan-bahan pembantu proses metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara kimiawi susu normal mempunyai susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak (3,70%), protein (3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%).

2.3.4. Mikrobiologi Susu
Badan Standarisasi Nasional (2009) menetapkan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam susu segar dan susu pasteurisasi, untuk total bakteri pada susu segar 1 x 106 koloni/ml dan untuk susu pasteurisasi 5 x 104 koloni/ml.
Djaafar dan Siti (2007) menyatakan bahwa mikroorganisme yang sering terdapat pada susu sapi adalah dari famili Lactobacteriaceae (Streptococcus lactis), famili Enterobacteriaceae (Escherichia coli) dan Staphylococcus.
Fardiaz(1992) menyatakan bahwa perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (metode hitung cawan) secara duplo. Prinsip dari metode ini adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.
Gaman dan Sherrington (1981) menjelaskan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah waktu, pakan, kelembaban, suhu, oksigen, dan pH.
Mastuti(2007) menyatakan bahwa untuk menghitung jumlah kandungan bakteri pada susu, sampel ditanam di dalam media NA (Nutrien Agar) untuk selanjutnya di inkubasi. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung, kemudian diamati karakteristik mengenai bentuk dan warnanya.
Nersser(2005) menyatakan bahwa hitungan cawan yang paling baik adalah cawan yang memiliki 10.000 koloni/cawan yang perhitungannya dilakukan dengan mikroskop pada perbesaran rendah.
Penn(2001) menyatakan bahwa Bakteri koliform dapat dihitung dengan menggunakan metode cawan petri (metode perhitungan secara tidak langsung yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni yang merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terdapat pada sampel).
Puspitasari et al. (2012) menyatakan bahwa pengenceran digunakan karena untuk menumbuhkan koloni bakteri pada media yang terbatas tidak mungkin dilakukan penghitungan bakteri yang berjumlah puluhan ribu.Pengenceran ini dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan bakteri pada sampel.
Sugiyono(2002) menyatakan bahwa setelah diinkubasikan, koloni yang tumbuh dihitung dianggap bahwa 1 koloni berasal dari satu sel atau satu spora bakteria.
Sukandar et al (2010) menyatakan bahwa sebaiknya jumlah koloni mikroba yang tumbuh dan dapat dihitung berkisar antara 30-300 koloni.Metode cawan dengan jumlah koloni yang tinggi (>300) sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar. Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah koloni atau bakteri adalah cfu/mL (cfu = colony forming units).
Waluyo(2004) menyatakan bahwa dimana jumlah terbaik adalah antara 30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm permukaan.Prinsip pengenceran adalah menurunkan jumlah sehingga semakin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan, makin sedikit sedikit jumlah meikrobia, dimana suatu saat didapat hanya satu mikrobia pada satu tabung.

2.3.5. Diagnosa Mastitis
Andriani (2010) menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT) ditentukan dengan cara mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di dalam paddel. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California Mastitis Test (CMT) yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.
Pradlee, et al,. (2011) menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT) merupakan salah satu metode diagnosa mastitis subklinis yang sampai saat ini dianggap sederhana dan cepat yaitu metode dengan menggunakan alat yang disebut paddle dan menggunakan reagen IPB-1 untuk mengetahui tingkat keparahan mastitis subklinis yang dialami.
Subronto (2003) menyatakan bahwa mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar.

2.4. Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu
2.4.1. Pembuktian Penambahan Santan Secara Mikroskopik
Boilman (2008), menyatakan bahwa 1 liter susu asal ternak yang segar dapat dipalsukan dengan 10 varietas asal lemak nabati ataupun prodik tumbuhan lainnya.
Deman (2007), menyatakan bahwa cirri khas susu yang ditambahkan dengan mixer pati akan menunjukkan spesifikasi larutan berbentuk kental dan mengandung warna biru.
Friendhsman. P (2000), menyatakan bahwa dalam bundaran pengamatan mikroskop, butiran lemak susu akan diprioritaskan lebih berhomogen serta mengandung struktur yang lebih kecil, dibandingkan dengan spesifikasi lemak nabati lainnya.

2.4.2. Pembuktian Penambahan Pati
Brody (2002), yang menyatakan bahwa dalam pembuktian pemalsuan susu yang ditambahkan pati maka dapat duji dengan mencapurkan larutan asam asetat, larutan lugol, dan tabung reaksi tersebut dipanaskan.
Frandson (2002) yang mengatakan bahwa dalam pemeriksaan pemalsuan susu dengan cara pembuktian penambahan pati bila positif mengandung pati maka filtrate warna menjadi biru, kemudian bila warna kuning berarti negatif dan bila berwarna hijau reaksi diragukan.
Nana (2002), menyatakan bahwa erfek susu yang dipalsukan akan menurunkan kadar zat-zat penting yang terdapat didalam susu dengan kemasan yang segar.


BAB III
MATERI DAN PERALATAN
3.1. Tempat Dan Waktu
Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi setiap hari Kamis, dari tanggal 13 Oktober 2016 sampai tanggal 17 November 2016 pukul 15.00 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Materi dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam praktikum anatomi alat pencernaan ini adalah cutter, terpal, alcohol, dan ember.
Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah tabung reaksi, penjepit tabung reaksi, pipet 10 ml, pembakar bunsen, kertas saring (diameter 25 cm), corong, gelas penampung atau beker glass, pH meter atau kertas lakmus, tabung reduktase, pipet 1 ml dan 25 ml, dan penangas air.
Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah laktodensimeter, thermometer, gelas ukur 100 ml dan 250 ml, labu Erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, penangas air, timbangan analitik skala 0.1 mg, lemari pengering (oven) temperature 102oC, eksikator, cawan gelas berpenutup diameter 5 cm, pipet 1 ml dan 25 ml, gelas beker 250 ml, cawan petri, incubator, tabung reaksi, pipet steril, buret, dan paddle test.
Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah mikroskop, gelas objek, tabung reaksi, corong, kertas saring, busen, pipet 1 ml dan 10 ml.
Peralatan yang digunakan pada praktikum anatomi alat pencernaan adalah saluran pencernaan kambing yang diperoleh dari Mat Beken dan air.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah air susu, alkohol 68%, 70%, 75%, dan 96%, dan larutan biru metilen.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah susu sapi, larutan NaOH 0.1 N, kalium oksalat (K2C2O7H2O), formalis 35%, phenolpthalin (PP) 2%, cobalt sulfat (CoSO4.7H2O), aquades, media PCA, pelarut (phosphate buffer, peptone water 0,1%) dan reagen CMT.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah air susu, santan, larutan asam asetat, dan larutan lugol.

3.3. Metoda
Cara kerja yang dilaksanakan pada praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat Pencernaan yaitu dengan mengamati bagian-bagian dari anatomi dan susunan alat saluran pencernaan pada kambing, serta menjelaskan fungsi dari alat saluran pencernaan kambing.
Cara kerja pada praktikum uji organoleptik tentang uji warna yaitu masukkan 5-10 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, amatilah warna susu tersebut.
Cara kerja pada praktikum uji bau yaitu sampel susu diambil dengan alat pengambil sampel dan dimasukkan ke dalam botol ukuran 100 ml dan diisi ¼ - penuh. Tutup botol tersebut dengan sumbat yang tidak berbau, simpan dalam suhu rendah.Sebelum diuji, masukkan botol tersebut dalam penangas air (35-40oC) sampai hangat.Sambil mengangkat tutup botol, uji bau dapat dilakukan. Bedakan bau susu sebelum dipanaskan dengan susu yang sudah dipanaskan.
Cara kerja pada praktikum uji kekentalan yaitu dilakukan dengan memasukkan susu ke dalam tabung reaksi, kemudian memiringkan tabung reaksi, kemudian ditegakkan kembali. Perhatikan air susu yang membasahi dinding tabung.
Cara kerja pada praktikum uji rasa yaitu dengan cara meneteskan air susu ke telapak tangan dan dicicipi. Bila agak manis berarti susu tersebut normal (baik), bila pahit berarti sudah terjadi pembentukkan peptone, bila rasa sabun berarti terkena mastitis, bila rasa lobak berarti terkena kuman coli, bila rasa pahit dan asin berarti kolostrum.
Cara kerja pada uji kebersihan dengan metode saring yaitu homogenkan 500 ml sampel susu, tuangkan sampel susu secara perlahan-lahan melalui dinding corong. Pada mulut corong telah terpasang kertas saring.Susu ditampung dalam beker glass. Setelah kertas saring dilepaskan, amati kotoran yang tertinggal di kertas saring tersebut. Untuk lebih jelas, masukkan kertas saring dalam incubator atau lemari pengering agar kering.Periksalah kotoran yang tampak pada kertas saring dan nilailah banyaknya kotoran dan jenis kotoran yang tampak.Penilaian dapat berupa bersih, cukup bersih, sedikit kotor, dan kotor sekali.
Cara kerja pada praktikum pengukuran pH dengan pH meter yaitu dengan cara meletakkan pH meter di dalam susu dan catat hasilnya.
Cara kerja pada praktikum uji alkohol yaitu masukkan 3 ml air susu kedalam 4 tabung reaksi. Tambahkan 3 ml alkohol 68% pada tabung I, 3 ml alkohol 70% pada tabung II, tambahkan 3 ml alkohol 75% pada tabung III, tambahkan 3 ml alkohol 96% pada tabung IV. Masing-masing tabung dikocok dan diamati. Bila susu pecah (ditandai dengan endapan halus pada dinding tabung) maka sampel susu tersebut asam dan hasil uji positif. Bila susu tidak pecah dan tetap homogeny, hasil uji dinyatakan negative dan susu normal (baik).
Cara kerja pada praktikum uji didih/uji masak yaitu masukkan 5 ml air susu ke dalam tabung reaksi dan panaskan sampai mendidih. Penilaian, bila terdapat butir-butiran dan susu tidak homogeny berarti susu pecah (rusak) dan hasil uji positif.  Bila susu tetap homogeny berarti susu masih baik (normal) dan hasil uji negatif.
Cara kerja pada praktikum uji reduktase dengan biru metilen yaitu masukkan 1 ml larutan biru metilen ke dalam tabung reduktase, tambahkan sampel susu sampai batas lingkaran. Tutup tabung tersebut dengan sumbat, lalu campurkan sehingga warna biru merata.Caranya dengan membolak-balik tabung (kira-kira 3 kali). Masukkan tabung ke dalam penangas air (37±1o C) selama 4-4,5 jam. Penangas air diletakkan di tempat yang terlindungi cahaya. Bila menggunakan incubator, masukkan dahulu tabung ke dalam penangas air selama 5 menit untuk menghangatkan, kemudian dimasukkan ke dalam incubator. Apabila akan membaca hasil, maka warna sudah berubah menjadi putih. Sebaiknya reaksi ditunggu sampai seluruh warna biru hilang.
Cara kerja pada praktikum pengukuran berat jenis adalah pertama sampel susu dihomogenkan dengan cara memindahkan dari satu erlemeyer ke erlemeyer yang lain berulang-ulang. Secara hati-hati sampel susu dituangkan ke dalam gelas ukur melalui dindingnya agar tidak terbentuk buih. Laktodensimeter dicelupkan ke dalam sampel susu secara perlahan-lahan, biarkan timbul dan tunggu sampai latodensimeter berhenti bergerak (± 1 menit). Baca skala yang tertera. Setelah pembacaan selesai, catat suhu tera laktodensimeter dan ukur suhu sampel susu dengan thermometer. Ulangi prosedur tersebut sebanyak 2-3 kali.Angka yang diperoleh dirata-ratakan.Skala yang dibaca pada laktodensimeter menunjukkan decimal 2 dan 3.Decimal ke-4 dikira-kirakan. Suhu sampel susu harus di antara 20-30oC, kemudian disesuaikan dengan suhu 27.5oC. Setiap kenaikan atau penurunan suhu susu 1oC, dilakukan penyesuaian koefisien muai air susu sebesar 0.0002. Berat jenis susu diperoleh dengan menggunakan persamaan.
Cara kerja pada pengukuran kadar bahan kering adalah keringkan cawan dan tutupnya dalam oven (102oC) selama 10 menit. Setelah itu, masukkan cawan ke dalam eksikator sampai suhunya sama dengan suhu kamar. Timbang cawan beserta tutupnya (G1). Masukkan 3 ml sampel susu ke dalam cawan. Timbang kembali cawan yang berisi sampel beserta tutupnya (G2).Masukkan cawan ke dalam oven (102 ± 2oC) dan letakkan tutup cawan di samping cawan.Biarkan selama 1 jam, setelah itu keluarkan dari oven dan masukkan cawan yang telah ditutup kembali ke dalam eksikator (cawan harus ditutup selama berada di dalam eksikator).Setelah cawan dingin (mencapai suhu kamar), timbanglah cawan beserta tutupnya (G3.1).Masukkan kembali cawan ke dalam oven, keringkan selama 1 jam.Setelah itu masukkan kembali ke dalam eksikator sampai dingin (suhu kamar).Timbang kembali cawan tersebut (G3.2). Lakukan prosedur tersebut sampai tercapai berat konstan (G3.1 = G3.2) atau selisih hasil pengukuran sebelum dan sesudahnya tidak melebihi 0.5 mg. Selisih berat cawan dengan cawan kosong adalah berat bahan kering sampel.
Cara kerja pada praktikum penentuan kadar protein cara titrasi formol adalah masukkan 10 ml susu ke dalam Erlenmeyer 125 ml dan tambahkan 20 ml aquades serta 0.4 ml larutan K-oksalat jenuh (K-oksalat:air = 1:3, perhatian: K-oksalat beracun) dan 3 tetes phenolpthalin. Diamkan 2 menit.Titrasilah larutan contoh dengan 0.1 N NaOH sampai mencapai warna standar atau sampai warna merah jambu. Setelah warna tercapai, tambahkan 2 ml larutan formaldehid 40% dan titrasilah kembali dengan larutan NaOH sampai warna standar tercapai lagi. Catatlah titrasi kedua. Buatlah titrasi blangko yang terdiri dari : 20 ml aquades + 0.4 ml larutan K-oksalat jenuh + 1 ml indicator phenolpthalin + 2 ml larutan formaldehid dan titrasilah dengan larutan NaOH. Titrasi terkoreksi yaitu titrasi kedua dikurangi titrasi blangko merupakan titrasi formal. Untuk susu digunakan factor 1.83.
Cara kerja pada praktikum mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan metode tuang yaitu beri label tabung reaksi yang berisi larutan pengencer dan cawan petri. Lakukan pengenceran contoh secara decimal (menjadi pengencer 1:10; 1:100; dsb). Ambillah contoh 0,1 ml atau 1 ml yang telah diencerkan ke dalam cawan petri. Tuangkan media agar cair (suhu 47,5oC) sebanyak 12-15 ml untuk setiap cawan.Selama penuangan medium, tutup cawan tidak boleh dibuka terlalu lebar.Segera setelah penuangan media agar cair, goyangkan cawan membentuk angka delapan di atas meja untuk menyebarkan sel mikroba.Setelah agar memadat, masukkan cawan petri ke dalam incubator dengan posisi terbalik selama 24-36 jam pada suhu 30-32oC.Hitunglah jumlah koloni yang terdapat pada agar dan laporkan sebagai jumlah koloni per ml.
Cara kerja pada praktikum mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan metode permukaan/ sebar yaitu tuangkan 15 ml agar cair ke dalam cawan petri dan biarkan memadat. Sebarkan larutan sampel ke seluruh permukaan agar dengan menggunakan ose bengkok.Biarkan contoh mengering, kemudian cawan petri dibalik dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 30-32oC.Lakukan perhitungan koloni yang terdapat dalam agar.
Cara kerja pada praktikum diagnosa mastitis yaitu 2 cc air susu ditambahkan 3 ml reagen CMT di paddle tes, kemudian diaduk secara memutar, amati reaksi yang terjadi.
Cara kerja pada praktikum penambahan santan secara mikroskopik yaitu bersihkan objek glass, teteskan 1 tetes susu dan tutup dengan gelas penutup (cover glass), hindari terbentuknya gelembung udara. Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 10 x dan 45 x. Tampak di bawah mikroskop butir-butir lemak susu homogen, sedangkan butir-butir lemak nabati lebih besar dari butir lemak susu.
Cara kerja pada pratikum pembuktian penambahan pati yaitu masukkan 10 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, tambahkan 0,5 ml asam asetat. Panaskan tabung dan kemudian sampel susu disaring. Ke dalam filtrate teteskan 4 tetes lugol. Apabila positif mengandung pati, maka warna filtrate menjadi biru.Bila berwarna kuning artinya negative.Apabila berwarna hijau, reaksi diragukan.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Anatomi Alat Pencerrnaan
Ruminansia merupakan binatang berkuku genap sub ordo dari ordo Artiodactyla disebut juga mamalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Sistem pencernaan (tractus digestivus) ruminansia terdiri atas suatu saluran muskulo membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus.Fungsinya adalah memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat.
Pencernaan pada ruminansia dimulai dari proses pengambilan makanan yang dilakukan secara prehensi yaitu makanan diambil melalui mulut. Di dalam mulut terdapat kelenjar saliva yang berfungsi sebagai suplai nutrisi dan larutan buffer.Setelah makanan di kunyah (mastikasi), makanan masuk melalui esophagus menuju ke lambung.Lambung ruminansia terdapat 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Makanan di dalam rumen mengalami proses fermentatif yang menghasilkan VFA, kemudian makanan masuk ke retikulum. Fungsi retikulum yaitu menyaring benda-benda asing. Setelah dari retikulum, makanan akan dimuntahkan kembali ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi). Kemudian makanan masuk ke omasum kemudian ke abomasum. Setelah melalui abomasum, makanan masuk ke usus halus dimana terjadi proses penyerapan sari-sari makanan. Dari usus halus makanan masuk ke usus besar.Di usus besar terdapat kolon dan sekum.Di usus besar terjadi penyerapan air.Dari usus besar makanan yang tidak dapat diserap atau sisa masuk ke rektum dan menuju ke anus.Di dalam anus terdapat otot sphincter.
Pada proses pencernaan hewan ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba pada rumen dan secara hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan di abomasum. Proses memamah biak pada ujung anterior rumen didorong kembali melalui esophagus menuju mulut, kemudian cairan segera ditelan sementara materi padat kembali dikunyah dalam mulut sebelum dikembalikan ke dalam rumen. Mikroba alami yang terdapat dalam rumen melakukan fermentasi secara anaerobik.Mikroba tersebut mendegradasi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam bahan pakan termasuk selulosa dan hemiselulosa (polisakarida) menjadi senyawa-senyawa sederhana (Kaunang, 2004).

4.1.1. Mulut
Proses pencernaan pada ternak ruminansia dibagi menjadi 3 yaitu : 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi di dalam mulut .2 . Pencernaan Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan ternak itu sendiri .3. Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Bath dkk., 1985).
Di dalam mulut terjadi proses mastikasi atau pengunyahan. Menurut Rahmadi, dkk, (2003) mastikasi disebut juga chewing, pakan seolah digerus antara geraham bawah dan geraham atas dengan frekuensi yang berbeda-beda tergantung pada jumlah pakan dan kondisi pakan. Jenis gigi, susunan rahang, dan kebiasaan mengunyah akan mempengaruhi variasi dari mastikasi. Tujuan mastikasi adalah memperkecil ukuran partikel pakan dan sekresi saliva.
Selain proses mastikasi, di dalam mulut juga terjadi proses remastikasi yaitu pengunyahan kembali makanan setelah dimuntahkan dari dalam rumen. Menurut Frandson, (1993) proses remastikasi terjadi secara lebih lambat dibandingkan mastikasi yaitu 55 kali per menit. Seekor domba rata-rata melakukan ruminasi selama delapan jam, walaupun aktivitas ini bisa dikendalikan sesuai kehendak,misalnya remastikasi pada saat pengeluaran bolus bergantung juga pada keadaan sekitar. Bolus yang terbentuk setelah regurgitasi dan pengunyahan akan dikeluarkan untuk diremastikasi. Material yang diregurgitasi biasanya terdiri atas hijauan dan cairan.Satu kali remastikasi biasanya berlangsung rata-rata satu menit.

4.1.2. Esophagus
Kerongkongan (esophagus), merupakan saluran penghubung antara mulut dengan lambung.Sepertiga bagian atasnya terdiri dari otot lurik, sedangkan dua pertiga bagian bawahnya terdiri dari otot polos.Makanan pada saluran ini hanya memerlukan waktu 6 detik untuk sampai ke lambung sebab adanya gerak peristaltik (meremas) dinding esophagus.Gerakan ini terjadi karena otot memanjang dan melingkar dinding esophagus mengerut. Peralihan makanan hasil pengunyahan daripada organ mulut adalah organ kerongkongan.Pada organ ini makanan hanya lewat begitu saja, dengan bantuan dorongan daripada kelenjar saliva (air liur).Tetapi kekuatan daripada dorongan air liur tersebut mengandung gerak hipertonis (gerak yang berlebihan).
Menurut Frandson, (1993) esophagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju perut besar atau lambung, sedang makanan boleh jadi tidak mengalami perubahan
sepanjang esophagus. Esophagus merupakan kelanjutan langsung dari farink, merupakan suatu saluran muskuler yang merentang dari farink menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma.

4.1.3. Lambung
Lambung ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu rumen (lambung pertama dengan kapasitas 100-230 liter pada sapi), retikulum (lambung ke dua atau perut jala), omasum (lambung ke tiga atau perut buku) dan abomasum (lambung keempat atau perut sejati) (Sarwono dan Arianto, 2005).
Proses pencernaan di dalam lambung depan terjadi secara mikrobial .Mikroba memegang peranan penting dalam pemecahan makanan.Sedangkan di dalam lambung sejati terjadi pencernaan enzimatik karena lambung ini mempunyai banyak kelenjar (Cole, 1962).
Rumen merupakan bagian kiri dari rongga perut, terbagi menjadi kantong-kantong kecil yang tersusun oleh muscular pillars, membran mukose yang menyusunnya bentuk glandular, secara keseluruhan terdapat papila (papillae) dan tersusun oleh dua lapis jaringan otot.
Rumen merupakan tempat pencernaan sebagian serat kasar serta proses fermentatif yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme, terutama bakteri anaerob dan protozoa (Chuticul, 1975). Bakteri dalam rumen dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1) kelompok pencerna selulosa, (2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok pencerna pati, (4) kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6) kelompok pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik (Arora, 1989).
Menurut Kamra (2005) proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi sangat intensif. Hal ini menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk yang lebih mudah diserap.Selain itu ternak ruminansia dapat juga memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dalam jumlah yang banyak.Ekosistem mikroba rumen sangat stabil dan dinamis. Pada ternak yang sehat kontaminasi ekosistem seolah tidak terjadi, pada kenyataannya jutaan mikroba dalam rumen banyak berasal dari pakan, air minum dan udara setiap harinya. Ekosistem rumen dinamis, ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan, mikroba rumen dapat beradaptasi dengan pakan tersebut. Hal ini terjadi karena mikroorganisme teradaptasi untuk terus hidup dalam rumen dan yang tidak mampu beradaptasi akan tereliminasi.
Perut paling depan (cranial) terdapat retikulum, bangunannya seperti sarang tawon dan membran mukosanya tersusun oleh stratified epithelium. Retikulum berfungsi untuk menyaring benda-benda asing yang terdapat pada makanannya.Sering kali ditemui benda-benda asing di dalam retikulum seperti paku, tali, dan benda asing lainnya yang tidak dapat diserap oleh tubuh ternak.Benda-benda asing tersebut bisa menyebabkan radang atau penyakit yang disebut hardware disease pada retikulum.
Omasum disebut sebagai perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Omasum bentuknya spherical, menghancurkan roughages, terletak sebelah kanan rumen dan retikulum dan caudal (belakang) hati.
Abomasum adalah ruang keempat dan terakhir dari lambung ruminansia, fungsinya mirip dengan lambung tunggal yang ditemukan pada manusia dan mamalia non-ruminansia.Abomasum merupakan lambung sejati (seperti pada non-ruminant), merupakan bagian kelenjar dari sistem pencernaan, letaknya ventral omasum pada bagian kanan.

4.1.4. Usus Halus
Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.Duodenum  merupakanbagian pertama/paling depan/akhir dari pilorus lambung, saluran dari pankreas dan kantong empedu. Jejenum sering disebut usus kosong merupakan bagian kedua dari usus halus, dan ileum merupakan bagian terakhir dari usus halus. Ileum akan dilanjutkan dengan caecum/usus buntu, colon/usus besar dan akhirnya bermuara pada rectum atau anus.Batas antara ketiganya tidak terlalu jelas.Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson, (1993) yang menyatakan bahwa usus halus terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus.Saluran yang berasal dari hati dan saluran pancreas menyatu ke dalam duodenum pada jarak yang pendek di belakang pylorus.Jejenum dengan jelas dapat dipisahkan dengan duodenum.Jejenum bermuladari kira-kira pada posisi dimana mesenteri mulai kelihatan memanjang.Jejenum dan ileum bersambung dan tidak ada batas yang jelas diantaranya.Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum.
Fungsi usus halus adalah dalam penyerapan nutrisi, sedangkan usus besar adalah penyerapan air, sekresi beberapa mineral seperti kalsium, tempat penampungan pakan yang tidak tercerna, dan fermentasi oleh bakteri (E. Purbowati et al, 2014).

4.1.5. Usus Besar
Usus besar/Large intestine terdiri dari cecum/usus buntu, colon/usus besar dan rectum atau anus.Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson, (1993) yang menyatakan bahwa usus besar terdiri atas secum yang merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang naik, mendatar, dan turun. Bagian turun akan berakhir di rectum dan anus.
Sekum merupakan suatu kantung buntu dan kolon yang terdiri atas bagian yang unik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan berakhir direktum dan anus. Usus buntuk bersama kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak terfermentasi di dalam rumen, pada ruminansia alat pencernaan itu jauh lebih besar.Rektum sebagai saluran pendek, terdiri dari garis otot polos dengan membrane mukosa dan mempunyai lapisan serosa pada interior dan berakhir pada anus dan dubur.Rektum berfungsi untuk menyimpan feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan (Iis Istidamah, 2006).

4.2. Pemeriksaan Kesegaran Air Susu
4.2.1. Uji Sensorik atau Uji Organoleptik
Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara organoleptik susu akan mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa, dan aroma dari susu yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya aktifitas mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.
Dari pengujian yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa warna, bau dan rasa dari susu tersebut adalah normal. Dari uji kekentalan didapat hasil bahwa susu yang ditambah air akan mengakibatkan susu menjadi encer, jika susu ditambahkan santan maka susu menjadi kental pekat, dan susu yang murni terlihat tidak terlalu kental serta tidak cair dan tidak berlendir (normal).
Pada uji rasa didapat hasil bahwa susu yang ditambah air memiliki rasa yang tawar, susu yang ditambah santan memiliki rasa yang manis serta gurih, dan susu murni memiliki rasa agak manis. Hal ini sesuai dengan pendapat Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011) yang menyatakan bahwa susu pasteurisasi yang normal memiliki rasa yang lezat sedikit manis karena mengandung karbohidrat yaitu laktosa dan mempunyai aroma yang spesifik. Cita rasa susu berhubungan dengan keseimbangan antara rasa manis akibat kandungan laktosa tinggi dan rasa asin dari kadar klorida. Susu dengan kandungan laktosa rendah tetapi kadar klorida tinggi menyebabkan cita rasa susu menjadi asin.

4.2.2. Uji Kebersihan dengan Metode Saring
Susu murni atau susu segar merupakan hasil dari proses pemerahan dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Nilai gizinya yang tinggi menyebabkan susu menjadi media yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi (Zakaria dkk.,2011).
Pada uji kebersihan dengan metode saring didapat hasil bahwa pada kertas saring terlihat sedikit kotoran seperti bulu halus dan bintik hitam. Hal ini menunjukkan bahwa susu tersebut cukup bersih.
Menurut pendapat Gustiani(2009) kontaminasi bakteri dimulai setelah susu keluar dari ambing danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur susu yang lebih panjang.

4.2.3. Pengukuran pH dengan pH meter
Uji keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya susu segar mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi asam laktat oleh mikroba (Suardana dan Swacita, 2009).
Dari pengujian pH susu didapat hasil bahwa susu tersebut memiliki pH 6,6 yang berarti bahwa susu masih dalam kualitas yang bagus. Hasil ini sesuai dengan pendapat Manik(2006) yang menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme aktivitas enzimatik. Menurut Suardana dan Swacita (2004), apabila pH di bawah 6,5 kemungkinan susu tersebut telah rusak oleh bakteri, sedangkan pH lebih besar dari 6,7 menunjukkan adanya kelainan seperti mastitis.

4.2.4. Uji Alkohol
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya (Dwitania DC dan Swacita IBN. 2013).
Tabel 1. Hasil Uji Alkohol
Tabung
Konsentrasi Alkohol (%)
Hasil
1
68
Positif
2
70
Positif
3
75
Positif
4
96
Negatif

Pada uji alkohol jika terdapat endapan atau gumpalan halus pada dinding tabung maka susu memiliki hasil uji positif, jika susu homogen dan tidak terdapat endapan di sekitar dinding maka hasil uji negative. Sesuai dengan pendapat Dirkeswan(1977)yang  menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi.
Susu pecah menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan dari air susu adalah tinggi. Uji alkohol berdasarkan kenaikan tingkat keasaman dari air susu karena perkembangbiakan bakteri, adalah untuk melengkapi penetapan dari kualitas air susu. Pecahnya susu disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri asam susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam laktat (Nababan et al., 2015). Pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak dikonsumsi karena adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung dalam susu tinggi (Sutrisna et al., 2014).

4.2.5. Uji Didih atau Uji Masak
Hasil yang didapat pada uji didih atau uji masak adalah susu tetap homogen yang berarti susu masih baik (normal) dan hasil uji didih adalah negatif.
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah (Dwitania DC dan Swacita IBN., 2013).

4.2.6. Uji Reduktase dengan Biru Metilen
Angka reduktase pada susu dapat dilihat dengan uji reduktase menggunakan methylene blue yang dapat memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri yang terdapat di dalam susu (Yulistiani et al., 2007).Berubahnya warna biru metilen pada periode yang panjang atau pendek, berkaitan dengan jumlah bakteri(Sari et al., 2013).
Hasil yang didapatkan dari pengujian reduktase dengan biru metilen adalah tidak terjadi perubahan warna yang signifikan, hal tersebut dikarenakan kondisi alat penangas yang tidak optimal sehingga menyebabkan suhu pemanasan tidak dapat diatur sesuai prosedur. Menurut pendapat Nababan et al. (2014) waktu reduktase susu yang normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi putih kembali menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu semakin sedikit.
Fardiaz (1989) menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu maka semakin cepat perubahan warna biru menjadi putih disebabkan karena keaktifan enzim reduktase yang dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene blue. Angka reduktase selain digunakan untuk memperkirakan jumlah mikroorganisme di dalam susu, juga dapat digunakan untuk menentukan kelas (grade) susu.

4.3. Pemeriksaan Komposisi Air Susu
4.3.1. Pengukuran Berat Jenis
Pada pengukuran berat jenis,digunakanbobot jenis ditera dengan suatu alat yang disebut laktodensimeter. Prinsip kerja alat ini berdasarkan hukum Archimedes yang menyatakan bahwa tiap benda yang dimasukkan  ke dalam zat cair, maka pada benda tersebut akan bekerja tekanan ke atas yang sama dengan berat cairan yang dipindahkan oleh alat tersebut.
Setelah sample susu dihomogenkan dengan memindahkan susu dari erlemeyer yang satu ke erlemeyer yang lain secara berulang-ulang, kemudian dituangkan kedalam gelas ukur secara hati-hati agar tidak timbul buih lalu dicelupkan laktodensimeter secara perlahan-lahan sampai laktodensimeter itu berhenti bergerak dan setelah itu catat suhu yang tedapat pada laktodensimeter dan diukur dengan thermometer maka didapat hasil sebagai berikut.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Berat Jenis.
Skala Berat Jenis
Suhu (Thermometer)
Suhu (Laktodensimeter)
Berat Jenis
1024
28oC
28oC
1.0528

Pada tabel di atas didapat hasil berat jenis pada susu sampel yaitu 1.0528.  Menurut pendapat Nadia (2011) berat jenis dipengaruhi oleh total solid dan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu. Pengukuran berat jenis merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui adanya pemalsuan susu yang mengakibatkan penurunan kualitas susu. Berat jenis air susu juga sangat dipengaruhi oleh berat jenis dari komponen penyusun susu seperti protein, laktosa, dan mineral (Sukarni, 2006).
Utami (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat jenis susu akan semakin turun. Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering pakan sehingga kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu.

4.3.2. Penentuan Kadar Bahan Kering
Bahan kering (BK) adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein, laktosa dan abu (Zuriyati et al., 2011). Pada pengukuran kadar bahan kering dengan metode pengeringan. Setelah cawan dan tutupnya dikeringkan dalam oven (102oC) selam 10 menit, kemudian cawan dimasukkan kedalam eksikator sampai suhunya sama dengan suhu kamar, ketiga timbang cawan berserta tutupnya (G.1), kemudian  masukkan 3 ml sampel susu kedalam cawan dan timbang kembali cawan yang berisi sampel berserta tutupnya (G.2), masukkan cawan kedalam oven suhu 102oC dan letakkan tutup cawan disamping cawan, biarkan selama 1 jam, keluarkan dari oven kemudian masukkan kedalam eksikator. Setelah itu ditimbang kembali (G.3). Menurut pendapat Allen D, Tilman (2004) sampel susu ditimbang dahulu sebelum diletakkan didalam cawan khusus yang dipanaskan dengan menggunakan oven dengan temperature ± 1050C, sampel dipanaskan sampai sampel susu tersebut tidak lagi mengalami penurunan berat.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatlah hasil dari penentuan kadar bahan kering susu sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Penentuan Kadar Bahan Kering.
 Kel.
G.1
G.2
G.3
Bahan Kering (%)
1
11
14
13
66.7
2
21
23
22
50
3
19
22
22
100
4
21
24
23
66.7
5
21
23
22
50
6
22
25
24
66.7
7
11
13
12
50
8
10
13
12
66.7

Tabel tersebut menunjukkan bahwa kadar bahan kering yang ada di susu berbeda-beda setiap kelompoknya. Bahan kering yang ada di susu rata-rata di atas 50% yang berarti bahwa susu tersebut sedikit mengandung air dan banyak mengandung bahan kering.
Menurut pendapat Wibowo (2013) kandungan bahan kering susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.

4.3.3. Penentuan Kadar Protein
Hasil praktikum mengenai penentuan kadar protein di dalam susu dapat dilakukan dengan cara titrasi formol dan didapat hasil sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Penentuan Kadar Protein
Titrasi blangko
Titrasi larutan
Titrasi formol
% Protein Susu
% Kasein
0.8
2.3
1.5
2.745
2.445

Pada tabel di atas adalah hasil dari penentuan kadar protein yang ada di dalam susu. Kadar proteinnya adalah 2.745% dan kasein pada susu tersebut adalah 2.445%. Sumudhita(1989) menyatakan bahwa susu merupakan sumber energi karena mengandung laktosa dan lemak, sumber zat pembangun karena mengandung protein dan mineral serta sebagai bahan-bahan pembantu proses metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara kimiawi susu normal mempunyai susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak (3,70%), protein (3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%).
Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan akan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu(Ekawati, 2014).

4.3.4. Mikrobiologi Susu
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (metode hitung cawan) secara duplo. Prinsip dari metode ini adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992).
Untuk menghitung jumlah kandungan bakteri pada susu, sampel ditanam di dalam media NA (Nutrien Agar) untuk selanjutnya di inkubasi. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung, kemudian diamati karakteristik mengenai bentuk dan warnanya (Mastuti, 2007).

Tabel 5.Hasil Perhitungan Mikroba dengan Cara Tuang.
Faktor Pengenceran
Jumlah Koloni
Koloni Per ml
10-7
39
3,9 x 108
10-8
66
6,6 x 109
10-9
20
2 x 1010

            Dari data di atas didapat hasil dari perhitungan mikroba dengan metode tuang yaitu pada pengenceran ke tujuh jumlah koloni per ml adalah 3,9 x 108, pada pengenceran ke delapan jumlah koloni per ml adalah 6,6 x 109 dan pada pengenceran ke sembilan jumlah koloni per ml adalah 2 x 1010.

Tabel 6.Hasil Perhitungan Mikroba dengan Cara Sebar.
Faktor Pengenceran
Jumlah Koloni
Koloni Per ml
10-7
190
1,9 x 109
10-8
23
2,3 x 109
10-9
43
4,3 x 1010

Dari data di atas didapat hasil dari perhitungan mikroba dengan metode sebar yaitu pada pengenceran ke tujuh jumlah koloni per ml adalah 1,9 x 109, pada pengenceran ke delapan jumlah koloni per ml adalah 2,3 x 109 dan pada pengenceran ke sembilan jumlah koloni per ml adalah 4,3 x 1010.
Dari pengujian perhitungan mikroba secara tidak langsung dengan metode tuang dan sebar didapatkan hasil berbeda-beda, hal ini disebabkan karena bedanya faktor pengencer yang digunakan.Menurut pendapat Puspitasari et al. (2012), pengenceran digunakan untuk menumbuhkan koloni bakteri pada media yang terbatas dan tidak mungkin dilakukan penghitungan bakteri yang berjumlah puluhan ribu.Pengenceran ini dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan bakteri pada sampel.
Jumlah mikroba yang terdapat pada susu tersebut kurang bagus, karena sebaiknya jumlah koloni mikroba yang tumbuh dan dapat dihitung berkisar antara 30-300 koloni. Metode cawan dengan jumlah koloni yang tinggi (>300) sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar (Sukandar et al., 2010).

4.3.5. Diagnosa Mastitis
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003).
Pada diagnosa mastitis dilakukan dengan cara uji CMT yaitu dengan memasukkan 2 cc air susu kemudian ditambah 3 ml reagen CMT di dalam padle test, kemudian diaduk secara memutar. Reakti yang terjadi adalah sebagai berikut.
Tabel 7.Hasil Diagnosa Mastitis Dengan Uji CMT
Larutan
Kode
Reaksi
Estimasi Jmlh Sel Somatik
Susu segar
-
Cairan susu normal
0-250.000 sel/ml
Susu rusak
+1
Terdapat endapan agak pekat
400.000-1.500.000 sel/ml

Dari hasil di atas reaksi yang terjadi pada susu segar yaitu cairan susu normal atau tidak terjadi reaksi, pada susu rusak terdapat endapan yang agak pekat. Hal ini sesuai dengan pendapat Andriani (2010) yang menyatakan bahwareaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California Mastitis Test (CMT) yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.

4.4. Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu
4.4.1. Pembuktian Penambahan Santan Secara Mikroskopik
Hasil yang diperoleh dari pembuktian penambahan santan secara mikroskopik yaitu setelah dilakukan percobaan bahwa susu murni memiliki partikel yang kecil dan halus serta homogen. Sedangkan pada susu yang ditambahkan santan memiliki perbedaan partikel. Partikel pada santan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan partikel pada susu murni dan tidak homogen.
Menurut pendapat Friendhsman. P (2000), menyatakan bahwa dalam bundaran pengamatan mikroskop, butiran lemak susu akan diprioritaskan lebih berhomogen serta mengandung struktur yang lebih kecil, dibandingkan dengan spesifikasi lemak nabati lainnya.
                       
4.4.2. Pembuktian Penambahan Pati
Pada praktikum pembuktian penambahan pati yang dilakukan dengan cara memasukkan 10 ml susu ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 0,5 ml asam asetat. Kemudian dipanaskan dan disaring, didalam filtrate ditambah lugol sebanyak 4 tetes dan didapat hasil yaitu bahwa warna pada filtrate setelah ditambah lugol adalah kuning yang berarti negatif dan di dalam susu tersebut tidak ada penambahan pati.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Frandson (2002)yang mengatakan bahwa dalam pemeriksaan pemalsuan susu dengan cara pembuktian penambahan pati bila positif mengandung pati maka filtrate warna menjadi biru, kemudian bila warna kuning berarti negatif dan bila berwarna hijau reaksi diragukan.Efek susu yang dipalsukan akan menurunkan kadar zat-zat penting yang terdapat didalam susu dengan kemasan yang segar (Nana, 2002).




BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum anatomi alat pencernaan yaitu pencernaan pada ruminansia dimulai dari proses pengambilan makanan yang dilakukan secara prehensi yaitu makanan diambil melalui mulut. Setelah makanan di kunyah (mastikasi), makanan masuk melalui esophagus menuju ke lambung.Lambung ruminansia terdapat 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Makanan di dalam rumen mengalami proses fermentatif yang menghasilkan VFA, kemudian makanan masuk ke retikulum. Setelah dari retikulum, makanan akan dimuntahkan kembali ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi). Kemudian makanan masuk ke omasum kemudian ke abomasum. Setelah melalui abomasum, makanan masuk ke usus halus dimana terjadi proses penyerapan sari-sari makanan. Dari usus halus makanan masuk ke usus besar.Di usus besar terdapat kolon dan sekum.Di usus besar terjadi penyerapan air.Dari usus besar makanan yang tidak dapat diserap atau sisa masuk ke rektum dan menuju ke anus.
Kesimpulan dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah susu yang dijadikan sampel pada praktikum memiliki kualitas yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari uji organoleptik yaitu susu memiliki warna, bau, kekentalan, dan rasa yang normal. Selain itu dari hasil pengujian alkohol, uji didih dan uji reduktase menunjukkan bahwa susu tidak mengalami kerusakan atau terkena mastitis.
Kesimpulan dari praktikum adalah pada pemeriksaan komposisi air susu dapat diketahui dari perhitungan kadar berat jenis, pengukuran bahan kering, dan pengukuran kadar protein.
Kesimpulan dari praktikum mikrobiologi susu adalah jumlah bakteri yang terdapat pada sampel susu tersebut semakin banyak pada pengenceran yang semakin tinggi.  Hal ini disebabkan karena pengenceran yang dilakukan untuk mengurangi kepadatan mikroba pada sampel, sehingga mikroba dapat dengan mudah dihitung.
Kesimpulan dari praktikum diagnosa mastitis yaitu susu murni yang tidak mengandung mastitis akan menghasilkan cairan susu yang normal, sedangkan susu yang telah rusak akibat mastitis akan terdapat endapan pada uji CMT.
Kesimpulan dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah susu yang telah dimasukkan santan ataupun pati ke dalamnya akan menghasilkan butir-butir lemak nabati yang lebih besar daripada butir lemak susu itu sendiri dan susu akan berwarna kuning bila tidak terdapat pati di dalamnya.

5.2. Saran
Saran untuk praktikum kali ini yaitu alat dan bahan yang digunakan harus lengkap dan lebih banyak sehingga semua praktikan dapat melakukan praktikum produksi ternak perah dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Triyantini, R. Sunarlim, H. Setiyanto, Dan Nurjannah. 2001. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pasteurisasi Terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner . Balai Penelitian Ternak. Vol. 6 No. 1.
Adnan, M.1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset. Yogyakarta.Direktorat Kesehatan Hewan, 1977.Manual Kesmavet.No. 6/1977.Seri; Susu.
Allen D, Tilman. 2004. Pemeliharaan Ternak Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Andriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC), Jumlah Bakteri dan California Mastitis Test (CMT) untuk Deteksi Mastitis pada Kambing. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2010, Vol. XIII, No. 5.
Anggraeni, A., K. Diwiyanto, L. Praharni, A. Soleh dan C. Talib. 2001.Evaluasi mutu genetiksapi perah induk FH didaerah sentra produksi susu. Prosiding Hasil Penelitian bagian proyek “Rekayasa Teknologi Pertanian/ARMP II”. Bogor: Puslibangnak.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh: Retno Murwani. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Asminaya, Nur Santy. 2007. Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar Untuk Produksi Dan Komposisi Susu Kambing Perah.Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI No. 7388:2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Susu Pasteurisasi. Bogor.
Bath, D.L., E.N. Dickinson, H.A. Tucker dan R.D. Appleman. -1985. Dairy Cattle : Principles,Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia.
Boilman. 2008. Gizi Kuliner I. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Brody. 2002. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.
Chutikul, K .1975 . Ruminant (Buffalo) Nutrition, in The Asiatic Water Buffalo, Proceeding of an International Syimposium heald at khon kaen . Thailand, March 31 - April 6 .Food and Fertilizer Tecnology Centre, Taipei, Taiwan.
Cole, H .H .1962 .Introduction to livestock Production, W .H. Freeman and Co, San Fransisco.
Deman. 2007. Gizi Kuliner I. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Djaafar T. F. and R. Siti. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3262073.pdf. Diakses 10 November 2016.
Dwitania DC dan Swacita IBN. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. J Veteriner 2(4) : 437- 444.
E. Purbowati, Lestari, C. M. S., E. Rianto, W.S. Dilaga,.dan R. Adiwinarti. 2014. Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan Sapi Jawa dan Sapi Peranakan Ongole diBrebes. Jurnal Peternakan Indonesia.Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.
Ekawati, Evy Ratnasari. 2014. Uji Perbedaan Kadar Laktosa Pada Susu Sapi Fries Holland Dan Susu Kambing Etawa Di Kec. Ampelgading, Kab. Malang.Sidoarjo : Prodi Analis Kesehatan-Fikes-Univ.Maarif Hasyim Latif Sidoarjo.
Fardiaz, S. 1989. Petunjuk laboratorium analisis mikrobiologi pangan. PAU Pangan dan Gizi: Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1.PT  Gramedia        Pustaka            Utama.Jakarta. 320 hlm.
Frandson,R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak.Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: B. Srigandonob & K. Praseno).600-609Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Frandson. 2002 . Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Raja. Jakarta.
Friendhsman. P. 2000. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.
Gaman, P.M., dan K.B. Sherrington. 1981. The Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition, and Microbiology. Terjemahan oleh Murdjati Gardjito, Sri naruki, Agnes Murdiati, dan Sarjono. Edisi kedua.1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Gustiani, E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (3):96-100.
Habibah dan Kadhafi M. 2011.Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Penyimpanan Susu Pasteurisasi Pada Suhu Rendah.Agroscientiae.Vol. 18 No. 3.
Hariyadi, P. 2000. Dasar dasar Teori dan Praktek Proses Termal.Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Iis Istidamah. 2006. Studi Perbandingan Fisio Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba Lokal (Thesis). Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakutas Peternakan, IPB.Junqueira, LC. dan J. Carneiro. 1982. Histologi Dasar. Alih Bahasa Adji Dharma. 1990. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal.123-132.
Kamra, D. N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Science, Vol. 89, No 1.
Kaunang, C.L. 2004. Respon Ruminan Terhadap Pemberian Hijauan Pakan Yang Dipupuk Air Belerang.Disertasi. Program Studi Ilmu Ternak, IPB Bogor. OH . H .K . Longhurst, W .M .and Jones, M .B . 1969, Reaction Nitrogen intake to Rumen Microba Activity and Consumption Quality Roughoge by sheep . Animal Sci, 28 : 272.
Lingathurai, S, Vellathurai, P, Vendan, S. E, and Anand, A. A. P. 2009. A comparative study on the microbiological and chemical composition of cow milk from different locations in Madurai, Tamil Nadu.Indian Journal of Science and Technology. Vol.2 No 2 (Feb. 2009):51-54. ISSN: 0974- 6846. India.
Manik, E. (2006). Olahan Susu. Jakarta : Pusat Unit Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.Millogo, V, Sjaunja, K. S, Ouedraogo, G. A dan Agenas, S. 2010. Raw milk hygiene at farms processing units and local markets in Burkina Faso. Food Control 21 (2010):1070-1074.
Mastuti, Rini. 2007. Kandungan Bakteri Susu Pasteurisasi Dalam Kemasan Plastik Yang Beredar Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Hasil Ternak. Issn : 1978 – 0303. Vol. 2, No. 2.
Nababan M., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2014.Ketahanan Susu Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Tingkat Keasaman, Didih, dan Waktu Reduktase. J Veteriner 3(4) : 274-282.
Nababan M., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2015. Kualitas Susu Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Alkohol, Derajat Keasaman dan Angka Katalase. J Veteriner 4(4) : 374-382.
Nadia, Meisya. 2011.Strategi Pemasaran di Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nana. 2002. Macam – Macam Olahan Susu. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Nersser. 2005.Ransum Ternak Ruminansia. Penebar swadaya. Bogor.
Penn. 2001. Dairy Cattle and Milk Production.The Macmillan Company.  
Pradlee, Jorgea, et al,. 2011. Somatic Cell Count and Californi Mastitis Test as a Diagnostic Tool for Subclinical Mastitis in Ewes. Acta Scientiae Veterinariae, 2012. 40(2): 1038.
Puspitasari FD, Shovitri M, Kuswytasari ND. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Aerob Proteolitik dari Tangki Septik. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1(1)
Rahmadi, Didiek. Sunarso.Achmad, Joelal. Pangestu, Eko. 2003. Nutrisi dan Makanan Ternak. Universitas Diponegoro. Semarang. Vol 4.
Ranjhan, S .K. and Pathak, N.N. 1979 . Management and Feeding of Buffalo, Vikas Publ House put, New Delhi.
Rumessen, JJ., DK. Alban, M. Severine, B. Florence, N. Schiffmann. 2001. Interstitial Cells of Gajal in the Striated Musculare of the Mouse Esophagus. Springer-Verlag. Reguler Article.
Saleh, E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Saleh, E. 2004.Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak. Sumatera Utara: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Sanam AB, Swacita IBN, Agustina KK. 2014. Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol. J Veteriner 3(1) : 1-8.Sari, M, Swacita IBN, Agustina KK. 2013. Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase. J Veteriner 2(2) : 202-207.
Sarwono, B., dan Ariyanto, N.B., 2005. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Suardana, IW., dan I.B.N Swacita, 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar.Udayana University Press.ISBN 978-979-8286-76-6.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugiyono. 2002.Ensiklopedia Biology. Ghalia Putra Indonesia. Jakarta.
Suhardi. 2013. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah Akibat Substitusi Rumput Gajah Dengan Jerami Padi+NaOH. Universitas Boyolali.Politeknisains VOL 6. No. 2.
Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya A. 2010. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.BPPT Jakarta. Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (333-339) ISSN : 1978 – 8193.
Sukarni.2006. Produksi Dan Komposisi Air Susu Kambing Peranakan Etawah Yang Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi. Universitas Udayana, Denpasar.
Sumudhita, M.W. 1989. Air Susu dan Penanganannya Hal; 1-45. Denpasar: Program Studi Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Sutrisna DY, Suada IK, Sampurna IP. 2014. Kualitas Susu Kambing Selama Penyimpanan pada Suhu Ruang Berdasarkan Berat Jenis, Uji Didih, dan Kekentalan. J Veteriner 3 (1) : 60-67.
Utami, Sri. 2012. Kajian Berat Jenis dan Total Solid Susu Kambing Saanen, Jawa Randu, dan Peranakan Etawa.Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Walstra, P., G. T. J. Noomen, A. Jellema and M. A. J. S. van Boekel. 1999. Dairy technology: Principles of milk properties and 9 process. Marcel Dekker Inc., New York.
Waluyo. 2004. Macam – Macam Olahan Susu. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Wibowo, Puguh Arif. 2013. Kajian Total Solid (TS) Dan Solid Non Fat (SNF) Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Pada Satu Periode Laktasi.Skripsi.Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Yulistiani, R., Ulya S. dan Veronika I. K. 2007. Tingkat Keamanan Susu Berlabel Pasteurisasi Di Wilayah Surabaya Selama Masa Penyimpanan Pada Suhu Refrigerator. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 11-21.
Zakaria Y, Helmy, MY dan Safara Y. 2011.Analisis Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah yang Disterilkan pada Suhu dan Waktu yang Berbeda. J Agripet 11 (1): 29-31.
Zurriyati, et al. 2011.Analisis molekuler genotipe kappa kasein (κ-kasein) dan komposisi susu kambing Peranakan Etawah, Saanen dan Persilangannya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

1 komentar:

  1. Izin promo ya Admin^^
    bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
    mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
    mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
    ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus