Jumat, 09 Maret 2018

MAKALAH SINKRONISASI DAN SUPEROVULASI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Sinkronisasi atau penyerentakan estrus pada ternak merupakan suatu upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan, karena dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan, perkawinan, kelahiran dan pemasaran (Adiwinarti, 1989 ; Odde, 1990 ; Sutama dkk., 1998). Selain itu, sinkronisasi estrus merupakan bagian yang terpenting untuk menunjang keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (Sutama dkk., 1998).
Senyawa kimia yang umum digunakan untuk sinkronisasi estrus antara lain PGF2α (Kusumawati, 1994 ; Gustari dkk., 1996) dan hormon progesteron (Sutama dkk., 1998); sedangkan secara biologis misalnya, kehadiran pejantan secara mendadak dapat menstimulasi timbulnya estrus pada betina yang sebelumnya diisolasi dalam waktu tertentu (Knight, 1983 dalam Sutama dkk., 1998).
Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan. Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk, 1992; Kleeman et al., 1994; Manalu et al., 2000).

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana tampilan reproduksi kambing betina local yang diinduksi birahinya dengan system sinkronisasi singkat ?
2.      Apa saja hormon dan bahan kimia sintetis yang digunakan dalam sinkronisasi estrus pada ternak kambing ?
3.      Bagaimana Pertumbuhan Prenatal dalam Kandungan Kambing Melalui Superovulasi ?

1.3.            Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui tampilan reproduksi kambing betina local yang diinduksi birahinya dengan system sinkronisasi singkat.
2.      Untuk mengetahui hormon dan bahan kimia sintetis yang digunakan dalam sinkronisasi estrus pada ternak kambing.
3.      Untuk mengetahui pertumbuhan prenatal dalam kandungan kambing melalui superovulasi.






BAB II
PEMBAHASAN

Sinkronisasi atau penyerentakan estrus pada ternak merupakan suatu upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan, karena dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan, perkawinan, kelahiran dan pemasaran (Adiwinarti, 1989 ; Odde, 1990 ; Sutama dkk., 1998). Selain itu, sinkronisasi estrus merupakan bagian yang terpenting untuk menunjang keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (Sutama dkk., 1998).
Tanda- tanda berahi yang terlihat sesuai dengan pernyataan Murtidjo et al,. (1993), bahwa pada waktu berahi yang terlihat kambing betina menunjukkan tandatanda gelisah, ekor diangkat dan digoyanggoyangkan, berusaha mendekati kambing jantan, mengembik, vulva bengkak dan berwarna kemerahan, lembab dan bila diraba terasa hangat serta mengeluarkan cairan (lendir) yang jernih. Respon kambing local terhadap metode pemberian PGF2α dapat menyebabkan regresinya korpus luteu fungsional dan memungkinkan dimulainya siklus yang baru, yang dinyatakan dalam bentuk timbulnya berahi.
Senyawa kimia yang umum digunakan untuk sinkronisasi estrus antara lain PGF2α (Kusumawati, 1994 ; Gustari dkk., 1996) dan hormon progesteron (Sutama dkk., 1998); sedangkan secara biologis misalnya, kehadiran pejantan secara mendadak dapat menstimulasi timbulnya estrus pada betina yang sebelumnya diisolasi dalam waktu tertentu (Knight, 1983 dalam Sutama dkk., 1998).
Alternative lain dilaporkan bahwa dengan menggunakan teknik laserpunktur, Adikara (1992) dalam Guntoro, dkk (1999) telah berhasil menyerentakkan estrus pada kambing. Guntoro dkk. (1999) dan Guntoro dkk. (2000) melaporkan bahwa rangsangan estrus pada kambing yang dilakukan pada 22 titik akupuntur reproduksi dengan sinar laser berkekuatan 20 KHz masing-masing selama 5 detik, memunculkan gejala estrus berturut-turut 100% dan 92.10% setelah dikawinkan menghasilkan tingkat konsepsi sebesar 71.42% dengan angka kelahiran rata-rata 2 ekor.
Menurut penelitian Nuti et al., (1992) semua kambing (100%) menunjukkan berahi setelah pemberian PGF2α pada hari ke-12 setelah berahi akibat pemberian PGF2α yang pertama. Demikian juga dengan penelitian Perera et al. yang disitasi oleh Devendra dan Burns (1994) di Srilangka mendapatkan hasil 5 dari 6 ekor kambing berahi, setelah diinjeksi dengan cloprostenol (analog PGF2α sintesis) secara ganda dengan dosis 125 μg dengan interval waktu 10 hari. Injeksi awal prostaglandin F2α akan menyebabkan kambing mencapai fase pertengahan luteal dari siklus berahi. Injeksi kedua akan efektif mempersingkat masa hidup korpus luteum dengan cara melisisnya (Hunter, 1995). PGF2α efektif dalam meregresi korpus luteum fungsional tidak pada korpus luteum yang sedang tumbuh (Partodihardjo, 1992).
Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α disebabkan karena lisisnya korpus luteum oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju korpus luteum menurun secara drastis (Toelihere, 1981). Akibatnya, kadar progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan menurun di dalam darah. Penurunan kadar progesteron akan merangsang hipofisis anterior menghasilkan dan melepaskan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi (Hafez, 1993).
Cara lain untuk sinkronisasi estrus pada ruminansia adalah dengan pemakaian progesterone - Controlled Internal Drug Release (CIDR-b pada sapi dan CIDR-g pada kambing dan domba). Cara tersebut telah terbukti efektif untuk mengontrol siklus estrus pada spesies ruminansia (Carlson et al., 1989; Wheaton et al., 1993; Junaidi dan Norman, 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh (SKT) mempengaruhi efektivitas CIDR. Sebagai contoh, penggunaan CIDR-b tidak efektif untuk induksi lonjakan luteinizing hormone (LH) dan ovulasi pada postpartum sapi dengan SKT kurus (Nation et al., 2000). Sinkronisasi estrus dengan CIDR selama 10 hari plus injeksi PGF2α 2 hari sebelum pencabutan CIDR, efektif untuk menginduksi estrus dan ovulasi pada kambing feral (Junaidi dan Norman, 2005). Faktor nutrisi sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas, fertilitas yang baik tercapai pada SKT ideal, sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada kambing dengan SKT kurus (Rhind dan McNeilly, 1986).
Berbagai jenis bahan kimia sintetis yang dapat dipergunakan untuk sinkronisasi pada kambing, namun yang paling umum dipakai adalah bahan yang mengandung progesteron seperti “Medroxy Progesterone Acetate” (MAP) atau Fluogestone Acetate (FGA). Namun semua bahan sinkronisasi tersebut relatif mahal dan aplikasinya pada ternak membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 14 hari. Kadar hormon progesteron yang tinggi dalam darah selama perlakuan progestagen akan menekan pelepasan FSH dan LH dari kelenjar hipofise anterior sehingga pertumbuhan folikel ovari terhambat. Penghentian perlakuan progestagen secara mendadak mengakibatkan folikel tumbuh berkembang dan produksi estrogen meningkat sehingga ternak menunjukkan tanda-tanda birahi (Wodziscka-Tomaszeswka et al., 1991).
Sinkronisasi birahi sering diikuti dengan penggunaan hormon PMSG yang dapat meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Artiningsih et al., 1996), sebagai akibat dari meningkatnya jumlah ovum yang diovulasikan. Hal ini selanjutnya juga diikuti dengan peningkatan kadar hormon progesteron, yang diketahui mempunyai peranan penting atas suksesnya kebuntingan (Manalu dan Sumaryadi, 1995). Hormon progesteron terutama dihasilkan oleh corpus luteum (CL) selama fase luteal dan selama masa kebuntingan (Reimers, 1982) dan juga oleh plasenta (Sheldrick et al., 1980). Sampai batas tertentu, makin tinggi jumlah CL maka makin tinggi pula hormone progesteron yang dihasilkan, walaupun hal ini masih sangat bervariasi antar breed, dan mungkin antar individu ternak. Hormon progesteron ini juga diketahui mempunyai hubungan positif dengan produksi susu (Subhagiana, 1998), dan akhirnya terhadap pertumbuhan anak pasca lahir.
Perlakuan sinkronisasi pada induk diharapkan berpengaruh tidak langsung pada pertumbuhan fetus melalui perbedaan produksi hormon progesteron, pertumbuhan dan perkembangan uterus, dan produksi susu uterus.
Superovulasi adalah suatu prosedur pemberian hormone pada ternak betina sehingga menghasilkan beberapa oosit atau sel telur, dimana secara normal hanya dihasilkan satu oosit pada setiap estrus. Pada domba, kambing atau sapi ratarata diperoleh 12 ovulasi setelah induksi superovulasi. Tujuan utama superovulasi adalah untuk meningkatkan jumlah oosit yang dilepaskan dan jumlah embrio yang potensial. Hormon yang biasa digunakan untuk merangsang pertumbuhan folikel dan ovulasi adalah pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Target organ superovulasi adalah ovarium dimana terdapat folikel yang didalamnya mengandung oosit.
Pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) merupakan hormon yang secara luas telah dipergunakan dalam program superovulasi dan transfer embrio pada ternak ruminansia. Hormon ini mempunyai aktivitas biologis menyerupai follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dengan masa paruh yang panjang sehingga cukup diberikan dalam dosis tunggal.
Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan. Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormone mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk, 1992; Kleeman et al., 1994; Manalu et al., 2000a). Peningkatan sekresi hormone  mammogenik selain untuk mempertahankan dan memelihara kebuntingan, juga berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan perkambangan uterus, plasenta serta kelenjar ambing (Anderson et al., 1981; Manalu dan Sumaryadi, 1998). Pada awal kebuntingan hormon-hormon ini merupakan sinyal pembuka yang penting bagi diferensi embrio dalam kandunga sehingga mampu memacu perkambangan prenatal, yang kemungkinan akan terbawa sampai sampai pada periode postnatal (Ashword, 1991). Estrogen dan progesteron telah terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan fetus, dan bobot lahir, meskipun pada jumlah anak per kelahiran lebih dari satu (Manalu dan Sumaryadi, 1998).
Induk kambing superovulasi melahirkan anak dengan bobot lahir dan bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kambing nirsuperovulasi, sehingga anak kambing memiliki daya tahan hidup yang lebih tinggi pula. Di lain pihak, Sutama et al. (1993) melaporkan bahwa salah satu penyebab tingginya mortalitas anak yang dilahirkan adalah rendahnya bobot lahir, semakin banyak jumlah anak per kelahiran semakin tinggi pula tingkat mortalitas.
Untuk menggalang petumbuhan fetus dan embrio dalam kandungan bisa dilakukan dengan melakukan superovulasi, tanpa menggunakan teknologi yang canggih dan mahal, yaitu dengan perangsangan sekresi endogen hormon kebuntingan (estradiol dan progesteron) melalui superovulasi. Superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, sehingga merangsang peningkatan sekresi endogen hormone kebuntingan dalam darah induk (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000b; Manalu et al. 2000c), yang berperan dalam meningkatkan pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, perkembangan plasenta dan kelenjar ambing (Manalu at al. 2000a), secara keseluruhan menentukan keberhasilan induk dalam proses reproduksi.
Peningkatan jumlah korpus luteum karena superovulasi sebelum perkawinan dengan menggunakan PMSG mendapat respons yang baik dari kambing, dibuktikan dengan terjadi peningkatan jumlah ovum yang diovulasikan dan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Hal yang sama juga dilaporkan Manalu et al. (1999) bahwa superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus luteum pada domba. Hormon PMSG memiliki aktivitas ganda yang mirip dengan FSH dan LH yang dapat merangsang pertumbuhan folikel, menunjang sintesis estradiol, merangsang proses ovulasi, dan luteinisasi (Armstrong et al. 1982; Piper & Bindon 1984; Gonzalez et al. 1994), sehingga ovum yang diovulasikan lebih banyak (Hafez 1980; Guiltbault et al. 1992; Bo et al. 1998). Peningkatan progesteron terjadi karena meningkatnya jumlah korpus luteum yang dihasilkan pada induk yang disuperovulasi sebelum perkawinan baik pada induk beranak tunggal maupun induk beranak kembar dibandingkan dengan induk kambing yang tidak disuperovulasi (Tabel 1). Dengan semakin banyak dan matangnya sel-sel lutein pada korpus luteum maka aktivitas sintesis progesteron dan sekresi progesteron meningkat. Korpus luteum pada kambing merupakan organ utama penghasil progesteron (Nalbandov 1976; Reeves 1987). Progesteron berfungsi merangsang uterus mempersiapkan implantasi zigot untuk memelihara fetus selama kebuntingan (McDonald 1980; Stabendfelt & Edqvist 1993; Manalu et al. 1996).
Estradiol dan progesteron dapat memodulasi ekspresi sejumlah protein (Wheeler et al. 1987) dan faktor pertumbuhan yang selanjutnya memelihara hubungan antara embrio dan uterus, memandu pertumbuhan embrio menjadi fetus. Pemberian progesteron pada awal kebuntingan pada domba menghasilkan perbaikan pertumbuhan fetus (Kleemann et al. 1994), sementara penambahan estradiol pada babi dapat meningkatkan sistem pembuluh darah kapiler uterus (Keys & King 1995). Superovulasi sudah diketahui meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan terutama estradiol dan progesteron sehingga meningkatkan bobot fetus yang tergambar dari bobot lahir anak. Peningkatan jumlah anak sekelahiran pada induk yang disuperovulasi sebelum perkawinan juga diikuti dengan peningkatan bobot lahir anak baik pada induk beranak tunggal
maupun induk beranak kembar dibandingkan dengan induk yang tidak disuperovulasi. Ini merupakan gambaran pertumbuhan prenatal karena terjadinya peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan terutama estradiol dan progesteron yang merangsang pertumbuhan prenatal di dalam kandungan. Jumlah anak sekelahiran seekor ternak bergantung pada jumlah ovum yang diovulasikan, pembuahan dan kemampuan hidup embrio (Hulet & Shelton 1987; Rasby et al. 1990). Peningkatan produksi susu karena superovulasi sebelum perkawinan terjadi karena peningkatan jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan dan peningkatan aktivitas sintesisnya selama laktasi. Hal ini bermanfaat untuk menunjang kebutuhan susu anak sebelum disapih. Superovulasi pada domba dapat meningkatkan produksi susu sampai 59% (Manalu et al. 2000c). Superovulasi sebelum perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron, yang dapat memacu pertumbuhan prenatal anak dalam kandungan. Peningkatan sekresi estradiol dan progesteron juga dapat meningkatkan jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk dan aktivitas sistesisnya. Hal ini dapat meningkatkan produksi susu baik pada induk kambing beranak tunggal maupun pada induk kambing beranak kembar.
           



BAB III
KESIMPULAN
            Kesimpulan pada makalah ini adalah sinkronisasi estrus merupakan suatu cara untuk menyerentakkan siklus estrus pada ternak betina dengan upaya untuk dapat memudahkan manajemen pemeliharaan, karena dapat mengefisienkan waktu dan tenaga kerja dalam pemberian pakan, perkawinan, kelahiran dan pemasaran. Sedangkan superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan. Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan


  
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinarti, R. 1989. Upaya peningkatan populasi ternak dengan pengendalian dan penyerentakan siklus birahi. Prosiding seminar pengawasan penyakit, bogor 4 desember 1989. Hal : 178-185.
Anderson, R.R., J.R. Harness, A.F. Sinead, and M.S. Salah. 1981. Mammary glang growth pattern in goats during pregnancy and lactation. J. Dairy Sci. 64 : 427 – 432.
Armstrong DT et al. 1982. Ovarian responses of anoestrus goats to stimulation with pregnant mare serum gonadotrophin. Anim Reprod Sci 5:15-23.
Artiningsih, N. M., B. Purwantara, R. K.Chjadi, Dan I-K. Sutama. 1996. Pengaruh penyuntikan Pregnant Mare Serum Gonadotrophin terhadap kelahiran kembar pada kambing Peranakan Etawah. JITV 2(1): 11 - 16.
Ashworth, C.J. 1991. Effect of pre-mating nutritional status and post-mating progesterone supplementation on embryo survival and conceptus growth in gilts. Anim. Reprod. Sci. 26 : 311 – 321.
Bo GA, Tribulo H, Caccia M, Tribullo R. 1998. Superovulatory response of beef heifers treated with estradiol benzoate, progesterone and CIDR-B vaginal device. Theriogenology 49:375.
Carlson KM, Pohl HA, Marcek JM, Muser RK, and Wheaton JE. 1989. Evaluation of progesterone controlled internal drug release dispensers for synchronization of estrus in sheep. Anim. Reprod. Sci. 18: 205–218.
Davendra C, Burns M. 1994. Goat Production in the Tropic. Common Wealth. Agriculture Bureaux. Farnham Royal, England.
Dziuk, P.J. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim. Reprod. Sci. 28 : 299 – 308.
Gonzalez A, Wang H, Carruthers TD, Murphy BD, Mafletoft RJ. 1994. Superovulation in the cow with pregnant mare serum gonadotrophin serum. Canad Veterin J 35:158-162.
Guiltbault LA, Lussier JG, Grasso F. 1992. Interrelationship of hormonal and ovarian responses in supperovulated response heifers pretreated with FSH-P at the beginning of the estrous cycle. Theriogenology 37:1027-1040.
Guntoro, S., I.M. Rai Yasa., I.A Parwati., D.M. Rai Puspa dan Sriyanto. 2000. Laporan Akhir Penelitian Adaptif Superovulasi pada Kambing dengan Laserpunktur. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali, Denpasar.
Guntoro, S., I.M. Rai Yasa., Sriyanto., I.M. Londra dan D. M. Rai Puspa. 2001. Laporan Akhir System Usahatani Kambing dengan Tanaman Industry. Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian, Bali, Denpasar.
Guntoro, S., N. Suyasa. Dan I.A. Parwati. 1999. Laporan Akhir Penelitian Adaptif Superovulasi pada Kambing dengan Laserpunktur. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Denpasar.
Gustari, S., A. Kusumawati., S. Subagyo dan P.P. Putro. 1996. Pemberian Prostaglandin Intra Uterin Untuk Induksi Estrus Pada Kambing PE. Bull. FKH Univ. Gajah Mada. Vol. XV (1) : 1-8.
Hafez ESE. 1980. Reproductive In Farm Animal. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger
Hafez ESE. 1993. Semen evaluation. In Hafez ESE. (Ed): Reproduction in farm animals. Philadelphia. Lea and Febiger.
Hulet CV, Shelton M. 1987. Sheep and goats. In: Hafez ESE (ed). Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. p 346-357.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Terjemahan D. K. Harya Putra. Bandung Penerbit ITB.
Junaidi A and Norman ST. 2005. Comparison of different superovulatory protocols in feral goats. Reproductive Biotechnology For Improved Animal Breeding In Southeast Asia. Proc. International Asia Link Symposium. 19-20 August: 119- 121.
Keys JL, King GL. 1995. Morphology of pig uterine sub epithelial capillaries after topical and systemic estrogen treatment. J Reprod Fert 105:287-294.
Kleeman, D.O., S.K. Walker, and R.F. Seamark. 1994. Enhance fetal growth in sheep administered The Effect of Superovulation and Dietary Zinc in Does (Adriani et al.) 183 progesterone during the first three days of pregnancy. J. Reprod. Fert. 102 : 411 – 417.
Kusumawati, A. 1994. Pengaruh Sinkronisasi Estrus Terhadap Angka Konsepsi Kambing Peranakan Etawah (PE). Laporan Penelitian FKH. UGM. Yogyakarta.
Manalu W, Sumaryadi MY, Kusumorini N. 1996. Effect of fetal number on the concentrations of circulating maternal serum progesterone and estradiol of does during late pregnancy. Small Rumin Res 23:117-124.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal weights at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin Res 30:171-176.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin Res 33:279- 284.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Mammary gland indices at the end of lactation in the superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Asian-Aust J Anim Sci 13:440-445.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000b. The effect of superovulation of Javanese Thin-Tail ewes prior to mating on lamb birth weight and prewearning growth. Asian-Aust J Anim Sci 13:292-299.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000c. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J Dairy Sci 83:477-484.
Manalu, W. dan M. Sumaryadi. 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total mass fetus pada akhir kebuntingan. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Ciawi Bogor, pp.:57-62.
McDonald LE. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia: Lea & Febiger.
Murtijdo BA. 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta. Kanisius.
Nalbandov AV. 1976. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. San Francisco: W.H. Freeman & Company.
Nation DP, Burke CR, Parton G, Stevenson R, and Macmillan KL. 2000. Hormonal an ovarian responses to a 5-day progesterone treatment in anestrous dairy cows in the third week postpartum. Anim. Reprod. Sci. 63:13–25.
Nuti L.J, Bretzlaff KN,. Elmore RG, Meyers SA, Regsla JN, Brinslev SP, Blahohard TL, Weston PG. 1992. Synchronnization of estrus in dairy goat treated with PGF2á various stages of the oestrus cycle. Am J Vet Res 52:934-937
Odde, K.G. 1990. A Review Of Synchronization Of Estrous In Postpartum Cattle. J. Anim Sci. 68: 817-830.
Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta. Penerbit Mutiara.
Piper LR, Bindon BM. 1984. Ovulation rate as selection criterion for improving litter size in Merino sheep. In: Lindsay DL, Pearce DT (eds). Reproduction in Sheep. Cambridge: Cambridge Univ. p 237- 239.
Rasby RJ, Wettermann RP, Geirsert RD, Rice LE, Wallace CR. 1990. Nutrition, body condition and reproduction in beef cows: fetal and placental development, estrogen and progesterone in plasma. J Anim Sci 68:4267-4276.
Reeves JJ. 1987. Endocrinology of reproduction. In: Hafez ESE (ed). Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. p 114-129.
Reimers, T. J. 1982. Milk progesterone for evaluating reproductive status. NYS College of Vet. Med. Cornell University, Ithaca, NY.
Rhind SM, and McNelly AS. 1986. Follicle populations, ovulation rate and plasma profile LH, FSH and prolactin in Scottish Blackface ewes in high and low levels on body condition. J. Anim. Reprod. Sci. 10: 105-115.
Sheldrich, E. L., A. P. Ricketts And A. P. F. Flint. 1980. Placenta production of progesterone ovariectomized goat treated with a synthesis progestagen to maintain pregnancy. J. Reprod. Fert. 60: 339-348.
Stabenfelt GH, Edqvist L. 1993. Female Reproductive in Dikes. Physiology of Domestic Animal. 11th ed. London: M.J. Swenson & W.O. Reece, Comstock Publ ASS Cornel Univ London.
Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda. Thesis Program Pascasarjana IPB Bogor.
Sutama, I.K., I.W. Mathius., Supriyati., I.G.M. Budiarsana., U. Adiati., R.S.G. Sianturi, Hestono dan T.D. Chaniago. 1998. Sinkronisasi Birahi Secara Hormonal Dan Biologis Pada Kambing Peranakan Ettawah. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN TA. 1990-1997. Buku II Penelitian Ternak Ruminansia Kecil. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Hal : 111-119.
Sutama, IK, IG, Putu, dan M.W. Tomaszewska. 1993. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia kecil melalui sifat reproduksi yang lebih efisien. Dalam : Reproduksi Kambing dan Domba di Indonesia (D.M. Tomaszewska, IM. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner, dan T.R. Wiradarya, Eds). Universitas Negeri Sebelas Maret Press, Surakarta.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung. Angkasa.
Wheaton JE, Carlson KM, and Windels HFLJ. 1993. CIDR: a new progesterone releasing intravaginal device for induction of estrus and cycle control in sheep and goats. Anim. Reprod. Sci. 33: 127-141.
Wheeler C, Khom B, Lyttle CR. 1987. Estrogen regulation of protein synthesis in the immature rat uterus: the effects of progesterone on protein released into medium during in vitro incubation. Endocrinology 120:919-923.
Wodziscka-Tomaszewska, M, I. K. Sutama, I. G. Putu and T.D. Chaniago. 1991. Produksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


3 komentar:

  1. Jenis permainan Sabung Ayam terdapat 3 jenis:
    ♣ Sabung Ayam S128
    ♣ Sabung Ayam SV388
    ♣ Kungfu Chicken

    Untuk setiap permainan berbeda beda minimal bettingan nya..

    Untuk minimal Deposit dan Withdraw adalah Rp 50.000 saja , yang cukup terjangkau.

    Dengan Rp 50.000 saja sudah bisa menang kan sampai ratusan juta Rupiah, cukup menguntungkan bukan?

    Tunggu apalagi? Segera daftar dirimu juga di www.bolavita.vip

    Baca juga = Cara Daftar Sabung Ayam di BOLAVITA

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    BalasHapus
  2. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus
  3. Izin promo ya Admin^^
    bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
    mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
    mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
    ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus